Sabtu, 06 April 2013

MELESTARIKAN BUDAYA MENULIS KARYA SASTRA


ABSTRACT
Write a literary work can become a culture. purpose of this study was to determine (1) the causes of declining interest in high school students to write poetry, (2) efforts to increase the interest of high school students to write poetry. Data collected by interview and observation method to high school students in Malang and Tulungagung with descriptive and qualitative techniques. The results are (1) declining interest in high school students as a result of the of globalization, students write poetry for fun without making it a more productive hobby, not yet aware of the nature of literary works, students are more interested in the concrete than the abstract (2) efforts to increase student interest in literary writing can be done by the need for attention from the government, teachers no longer menganaktirikan literary skills, especially writing skills of a literary, more creative use of the potential of school students in the writing of literature.

Keywords: Conserve, culture, writing, literature, high school students.

Setiap bangsa pasti memiliki kebudayaan. Budaya merupakan suatu hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan budaya suatu kelompok masyarakat mampu menonjolkan kreativitasnya, serta mampu menjadikan budaya sebagai identitas diri bangsa secara turun temurun. Dengan budaya suatu kelompok masyarakat mampu mengetahui serta mempelajari budaya mereka sendiri sekaligus membandingkan budayanya dengan budaya kelompok masyarakat yang lain. Wujud kebudayaan di Indonesia yang beraneka ragam membuat Indonesia kaya akan budaya, akan tetapi budaya yang tampak secara nyata hanya terfokus pada seni tari, pakaian, rumah adat, lagu, musik daerah, alat musik, gambar, dan patung.
Kebudayaan di Indonesia saat ini cenderung mulai luntur akibat pengaruh budaya luar, bukan hanya kebudayaan saja tetapi juga dalam bidang pendidikan dan teknologi. Budaya yang mencakup bidang tertentu tanpa ada suatu pembaharuan dalam kebudayaan akan terasa hambar. Mengapa tidak ada yang berpikir bahwa suatu karya sastra bisa menjadi budaya? Hal inilah yang akan menjadi inovasi terhadap kebudayaan siswa SMA saat ini.
Karya sastra merupakan suatu hasil kreativitas yang diciptakan oleh pengarang untuk mengekspresikan jiwa, emosi, dan perasaannya. Ketika seseorang merasa dalam keadaan labil terkadang ia akan mengungkapkannya lewat sebuah karya sastra, baik itu berupa puisi, cerpen, novel, dan sebagainya. Bentuk karya sastra ada dua macam, yakni karya sastra yang berbentuk prosa dan nonprosa. Baik dalam bentuk prosa maupun nonprosa, melalui keindahan kata dan pilihan kata yang imajinatif dan puitis membuat karya sastra menjadi suatu hasil karya yang memiliki value (nilai) tersendiri bagi pembacanya. Banyak karya-karya sastra yang telah memotivasi pembacanya, memberikan gambaran atau kritik kepada suatu keadaan yang tidak seimbang sekaligus mempengaruhi pembacanya tertarik untuk ikut berkarya. Akan tetapi, minat siswa khususnya siswa SMA pada sastra yang sekarang cenderung mengalami stagnasi atau kemacetan. Hal ini membuat karya sastra terkadang hanya dipandang sebelah mata. Padahal dengan karya sastra akan lebih kreatif dalam mengolah kata-kata, mengeksplorasi bahasa, dan menjadikan bahasa sebagai acuan utama masyarakat untuk maju. Bahasa yang notabene adalah bagian dari kebudayaan, karena bahasa juga digunakan untuk menyampaikan pesan kebudayaan pada bangsa lain.
Hakikat menulis itu sendiri adalah menulis itu kerja kreatif. Menulis itu menciptakan atau membangun sebuah dunia. Menulis dibagi dalam dua bagian, yaitu creative writing (menulis kreatif) dan academic writing (menulis akademis). Creative writing (menulis kreatif) melibatkan emosi dan hati nurani di dalamnya, di mana penulis sebagai 'penguasa' bagi suatu kehidupan yang diciptakannya, meliputi novel, cerpen, puisi, repertoire. Creative writing termasuk dalam fiksi atau fiction yang mengandung pengertian data atau fakta tidak penting, data bisa dijadikan titik pijak tetapi tidak mutlak, logikanya khas dunia fiksi dan argumentasi khas fiksi atau berdasarkan imajinasi. Sedangkan academic writing (menulis akademis) meliputi kolom, tajuk rencana atau editorial, opini atau pendapat, feature, petunjuk praktis atau tips, investigative reportingindepth reportingdeep reporting. Academic writing termasuk dalam non-fiksi atau fact yang mengandung pengertian data tak boleh palsu atau karangan, logika harus runtut, argumentasi menjadi keniscayaan, cenderung dalam kesepakatan dan pemahaman bersama.
Definisi dari menulis sendiri biasanya cenderung berbeda dari sudut pandang pelakunya, seperti pada pelajar yang mendefinisikan kegiatan menulis adalah merupakan suatu kegiatan menyalin ilmu pengetahuan yang mereka dengar atau baca dalam proses belajar mengajar. Sedangkan untuk mahasiswa sendiri kegiatan menulis adalah kegiatan menyusun laporan praktikum atau paper yang menumpuk setiap waktu dan bagi mahasiswa tingkat akhir pengertian menulis berkembang lagi menjadi kegiatan yang paling inti, yaitu menyusun skripsi atau tugas akhir. Bagi sastrawan menulis adalah kegiatan merangkai kata berisi diksi-diksi dan metafora yang indah sehingga menghasilkan sebuah karya sastra yang indah dan hikmah.
Dewasa ini minat siswa SMA cenderung menurun terhadap kegiatan menulis karya sastra, untuk itu perlu ditingkatkan agar mereka mampu untuk melestarikan menulis karya sastra tidak hanya sekadar menjadi hobi akan tetapi juga diharapkan mampu menjadi budaya yang inovatif. Siswa SMA sekarang ini lebih banyak memandang karya sastra hanya sebelah mata, jangankan menulis sebuah karya sastra, membacanya saja mereka tidak terlalu berminat. Jika bukan orang-orang yang memang sebenarnya dari awal mempunyai ketertarikan khusus terhadap karya sastra pastilah karya sastra itu dipandang tidak bernilai, padahal melalui sebuah karya sastra dapat banyak orang mampu menemukan ide-ide baru, informasi yang baru bahkan nilai-nilai yang sering dikesampingkan oleh masyarakat dapat diungkap dan dijadikan teladan atau pesan bagi individu masing-masing.
Melalui keadaan yang demikian perlu adanya suatu upaya ataupun pembaharuan agar masyarakat mampu lebih meningkatkan minatnya terhadap menulis karya sastra yang variatif tidak terkesan monoton karena bergenre tertentu saja, seperti novel atau cerpen-cerpen yang ditulis hanya monoton berjenis kisah percintaan remaja. Sebagai bangsa yang mempunyai sejarah sastrawan yang terkenal Indonesia harus mampu melestarikan menulis karya sastra sebagai budaya yang inovatif agar siswa SMA tidak lagi memandang sebelah mata terhadap sebuah karya sastra. Dalam artikel ini dibahas mengenai penyebab menurunnya minat siswa pada bidang menulis sastra, serta upaya meningkatkan minat siswa SMA pada bidang menulis sastra.

METODE PENELITIAN
Pengumpulan data dilakukan selama tiga hari di Kota Malang dan Tulungagung, khususnya di sekolah-sekolah SMA. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini dilakukan kegiatan mendeskripsikan hasil pengamatan dan wawancara. Karenanya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data hari pertama yang dilakukan adalah wawancara untuk menghasilkan tentang pendapat siswa SMA mengenai penyebab menyusutnya minat siswa SMA dalam menulis karya sastra serta bagaimana cara meningkatkan minat siswa SMA untuk menulis sebuah karya sastra. Pada hari kedua dilakukan wawancara mengenai upaya melestarikan budaya menulis karya sastra di kalangan siswa SMA. Pada hari ketiga dilakukan penyebaran angket pada beberapa sekolah SMA dimana kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh data pendukung mengenai masalah yang diteliti. Sumber penelitian adalah beberapa siswa SMA dari sekolah-sekolah yang berbeda, yaitu SMA 5 Malang, MAN 1 Malang, dan beberapa SMA di Tulungagung seperti SMAN 1 Kedungwaru, SMAN 1 Gondang, dan SMAN 1 Kauman.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data hasil penelitian maka dapat diperoleh beberapa data tentang menurunnya minat siswa SMA terhadap karya sastra, yaitu (1) akibat dari arus globalisasi, (2) siswa menulis karya sastra hanya karena iseng tanpa menjadikannya suatu hobi yang lebih produktif, (3) belum tahu benar tentang hakikat karya sastra, (4) menurunnya minat siswa terhadap karya sastra yang lebih tertarik pada hal yang konkrit daripada hal yang abstrak.
Upaya untuk meningkatkan minat siswa SMA terhadap karya sastra sebagai berikut (1) perlu adanya perhatian dari pemerintah, (2) guru tidak lagi menganaktirikan keahlian sastra terutama keterampilan menulis karya sastra, (3) sekolah lebih kreatif memanfaatkan potensi siswa dalam menulis karya sastra, (4) hasil karya sastra yang ditulis oleh siswa hendaknya ditampung dalam media yang menunjang, (5) kesadaran dari diri siswa sendiri, (6) sekolah mengadakan Festival Bulan Bahasa sebagai ajang kreativitas dalam menulis karya sastra
PEMBAHASAN
Menurunnya Minat Siswa SMA pada Bidang Menulis Sastra
Ada beberapa penyebab menurunnya minat siswa pada bidang menulis sastra, di antaranya adalah arus globalisasi. Globalisasai merupakan era di mana terjadi banyak kemajuan dalam segala bidang. Kemajuan yang cukup pesat terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.  Dengan perkembangan IPTEK yang menjangkau hampir di seluruh negara di belahan bumi,  akan banyak sekali kebudayaan dari negara lain yang masuk ke dalam budaya negara Indonesia contoh kecilnya adalah budaya menulis. Terkait dengan budaya menulis akan lebih baik mengambil segi positif dari negara asing yang sudah lebih maju untuk bidang tulis-menulis. Sebenarnya apabila ditelusuri lebih jauh tentang sastrawan atau penulis karya sastra, Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak sastrawan, contohnya Chairil Anwar dan Taufiq Ismail. Mereka berdua adalah segelintir penulis karya sastra yang sangat terkenal di Indonesia. Karya-karya mereka juga banyak yang diakui bukan hanya di negeri sendiri tetapi juga di luar negeri.
Budaya menulis karya sastra untuk siswa SMA di Indonesia sekarang ini dirasa mulai menurun terutama akibat dari arus globalisasi yang sudah semakin gencar masuk ke dalam budaya negara ini. Dengan kecanggihan teknologi, siswa seolah sangat dimanjakan oleh kecanggihan yang ada. Bila siswa mau, mereka dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada untuk mencari referensi karya sastra pada zaman dahulu untuk menghasilkan karya sastra dengan bagus. Arus globalisasi dapat dimanfaatkan dengan baik oleh siswa yang mau memanfaatkannya dengan baik juga, tetapi kebanyakaan masyarakat Indonesia apabila diberi sarana dan prasarana yang semakin mudah semakin membuat mereka menjadi malas. Hal ini dapat dilihat pada keterampilan menulis karya sastra di sekolah, semakin menurunnya minat siswa untuk menulis karya sastra maka akan mengakibatkan budaya menulis sastra itu sendiri dapat luntur. Padahal siswa adalah calon pelajar pembawa perubahan di masa yang akan datang. Siswa adalah orang yang masih menimba ilmu di sekolah, apabila mereka tidak mempunyai keterampilan untuk menulis karya sastra, mau dibawa kemana negara yang dahulu terkenal dengan para sastrawannya. Jangan sampai arus globalisasi lebih banyak membawa dampak negatif untuk perkembangan karya sastra tetapi harus ditekan seminimal mungkin untuk dimanfaatkan dengan menghasilkan karya sastra yang lebih baik lagi terutama untuk kalangan pelajar SMA.
Di sisi lain siswa menulis karya sastra karena iseng tanpa menjadikannya suatu hobi yang lebih produktif. Sebagian dari siswa memang pernah menulis karya sastra, akan tetapi karya sastra yang mereka tulis kebanyakan hanya suatu keisengan untuk mengisi waktu luang atau ketika mereka dalam keadaan labil. Ketika itulah para siswa mulai menulis karya sastra hanya sebagai coretan buku belaka. Karya sastra yang banyak mereka pilih adalah puisi karena dianggap lebih singkat, tidak bertele-tele, dan tidak menghabiskan banyak waktu. Jarang ada siswa menulis karya sastra yang lain seperti novel, drama, atau cerpen. Untuk jenis karya-karya yang seperti itu mereka lebih senang membaca hasil karya orang lain seperti di majalah, teenliit, daripada menulisnya sendiri, terkecuali bagi siswa yang memang gemar menulis karya sastra. Siswa hanya membuat suatu karya sastra yang terkesan tidak serius dan hanya dianggap coretan tangan saja tanpa ingin mempergunakan kesempatan yang ada dengan lebih meningkatkan  kadar menulis mereka sebagai suatu hobi yang lebih produktif, karena sekarang juga tidak sedikit media yang menampung hasil karya sastra. Dengan begitu pula, para penikmat atau pembaca sastra bisa lebih tertarik untuk membaca karya sastra karena semakin banyak hasil karya sastra semakin bervariasi pula isi dan bentuk karya sastra sehingga pembaca tidak bosan dengan karya sastra yang jenisnya monoton.
Di samping itu, siswa belum tahu benar tentang hakikat karya sastra. Siswa SMA merupakan siswa yang mempunyai wawasan luas terutama yang menyangkut mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pernyataan ini tidak salah karena sejak duduk di bangku SD mereka sudah diberi mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terdapat dua keahlian yang harus dikuasai oleh siswa yaitu tentang Bahasa dan Sastra. Dua keahlian dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia tersebut haruslah seimbang dalam penerapan pengajarannya. Hal ini dimaksudkan agar tidak hanya memberatkan pada salah satu keahlian bahasa saja, tetapi pada kenyataannya terutama untuk keahlian di bidang sastra masih banyak guru Bahasa Indonesia yang menganaktirikannya. Guru Bahasa Indonesia lebih mendominasikan keahlian bidang kebahasaan saja daripada bidang sastra. Hasilnya, pada penelitian dengan menggunakan metode wawancara secara langsung terhadap tiga orang siswa SMA berbeda yang berada di daerah Tulungagung, yaitu SMAN 1 Gondang, SMAN 1 Kedungwaru, dan SMAN 1 Kauman. Ketika ditanya tentang hakikat karya sastra, satu dari siswa yang telah diwawancarai yaitu dari SMAN 1 Kedungwaru menjawabnya dengan jawaban tidak tahu pengertian karya sastra, tetapi hanya tahu bentuk karya sastra seperti novel, puisi, dan cerpen. Sedangkan siswa yang sekolah di SMAN 1 Gondang ketika diwawancarai tentang apa itu karya sastra menjawabnya dengan sangat santai bahwa karya sastra hanyalah sebuah tulisan. Padahal tulisan tidak dapat disebut sebagai karya sastra jika tidak terdapat unsur-unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya serta unsur estetik yang wajib ada di dalamnya. Jadi tidak asal tulisan bisa disebut sebagai karya sastra. Ini membuktikan bahwa tingkat pengetahuan siswa terhadap karya sastra masih sangat kurang bahkan ada siswa dari sekolah SMAN 1 Kauman tidak tahu sama sekali apa itu karya sastra. Hal ini membuktikan bahwa pada kenyataanya pengetahuan bidang sastra yang ada pada pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang diterima sejak duduk di bangku SD sampai dengan SMA sangat bertolak belakang dengan lamanya siswa dalam memperoleh pendidikan. Ternyata semakin lama seorang siswa memperoleh pelajaran maka pelajaran tersebut akan semakin tidak didalami.
Wawasan siswa tentang karya sastra yang masih sedikit, bahkan untuk mendefinisikan karya sastra saja siswa masih kesulitan. Apabila pengetahuan dasar tentang karya sastra saja masih sangat sedikit apalagi untuk menuliskan sebuah karya sastra. Kebanyakan siswa masih memandang sebelah mata terhadap karya sastra dan untuk perkembangan karya sastra pun dapat terancam yang pada akhirnya akan luntur. Budaya menulis karya sastra harus selalu dipertahankan eksistensinya terutama kepada siswa SMA yang seharusnya sudah lebih paham tentang karya sastra.
Siswa lebih tertarik pada hal yang konkrit daripada hal yang abstrak juga merupakan faktor menurunnya minat siswa untuk menulis karya sastra. Sastra merupakan suatu hal yang harus dipelajari bagi siswa khususnya ketika mereka beranjak dewasa. Pada kesempatan inilah penulis mengamati minat siswa SMA terhadap karya sastra. Pada umumnya, siswa SMA yang telah diteliti memang tidak begitu tertarik dengan karya sastra ataupun mempelajarinya. Namun, di sini dengan melakukan observasi khusus terhadap kalangan siswa SMA jurusan Bahasa, telah diperoleh data bahwa sebenarnya siswa tertarik pada karya sastra karena mereka menganggapnya lebih mudah daripada pelajaran lainnya yaitu seperti mengapresiasi puisi atau juga cerpen, tetapi untuk menghasilkan karya sastra minat mereka cenderung pasif. Mereka lebih memilih hal-hal yang bersifat konkrit atau jelas daripada memilih hal-hal yang abstrak.
Dari 20 siswa, hanya 9 siswa yang berminat sedangkan 11 siswa yang lainnya tidak terlalu berminat terhadap karya sastra. Ini membuktikan bahwa minat siswa terhadap karya sastra saat ini menurun. Hal ini dikarenakan mayoritas mereka lebih memilih hal yang konkrit daripada memilih hal yang abstrak. Adapun faktor-faktor menurunnya siswa SMA yang berminat terhadap karya satra adalah sebagai berikut (1) mereka lebih suka membaca daripada menulis, (2) mereka lebih suka melihat hasil keseluruhan secara langsung daripada menikmati karya sastra, dan (3) mereka lebih suka melihat pertunjukan sastra daripada mengapresiasi karya sastra. Alasan-alasan tersebut adalah beberapa pernyataan yang memang mereka lontarkan dan sebagian besar mereka cenderung lebih memilih hal-hal yang bersifat mudah.
Meningkatkan Minat Siswa SMA pada Bidang Menulis Sastra
Pada dasarnya, siswa mempunyai minat terhadap karya sastra apabila ditunjang dengan fasilitas dan lingkungan yang mendukung. Namun, hingga sekarang apa yang diharapkan belum terlaksana dengan baik sehingga hal ini membuat mereka tidak terlalu minat terhadap karya sastra. Hal seperti ini sangat disayangkan karena sebagai generasi penerus seharusnya dapat melakukan yang terbaik untuk memajukan karya sastra di Indonesia. 
         Meningkatkan minat siswa untuk menulis karya sastra perlu adanya perhatian dari pemerintah. Dengan melihat masih banyak siswa SMA yang kurang maksimal dalam kemampuan menulis karya sastra, sepertinya akan menjadi sebuah ancaman terhadap perkembangan karya sastra untuk ke depannya. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan karya sastra sendiri juga dapat menjadi salah satu penyebabnya. Seharusnya budaya menulis karya sastra di lingkungan lembaga pendidikan lebih dikembangkan lagi sejak dini mulai dari tingkat Sekolah Dasar. Hal ini dapat dilakukan dengan membiasakan siswa untuk menulis karya sastra sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada saat siswa berpindah jenjang pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, siswa sudah terbiasa untuk menulis karya sastra.
Selain itu, guru tidak lagi menganaktirikan keahlian sastra terutama ketrampilan menulis karya sastra. Perhatian lain juga tertuju pada tenaga pendidik yaitu guru. Guru, terutama sebagai guru Bahasa Indonesia seharusnya tidak menganaktirikan keahlian di bidang sastra pada saat menyampaikan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Guru dituntut untuk lebih kompeten tidak hanya ahli bidang kebahasaan saja tetapi juga ahli di bidang sastra. Kemampuan guru untuk bidang sastra sendiri dirasa masih sangat kurang karena pada kenyataanya saat pelajaran Bahasa Indonesia, guru bahasa seolah enggan untuk memberikan materi tentang sastra secara mendalam kepada siswa. Guru masih memberikan materi tentang sastra secara garis besar saja. Kenyataannya, meskipun sebagai guru Bahasa Indonesia, keahlian mereka di bidang sastra masih sangat kurang. Bagaimana jadinya apabila guru Bahasa Indonesia yang mengajarkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kurang mampu untuk menguasai keahlian di bidang sastra. Ini akan berdampak negatif kepada siswa, terutama untuk keterampilan menulis karya sastra.
Kebanyakan guru Bahasa Indonesia meskipun sudah menyampaikan teori tentang karya sastra, tetapi tidak diimbangi dengan keterampilan menulis karya sastra. Hal ini akan menjadi berbeda apabila guru menyeimbangkan antara teori dan praktek dalam menulis karya sastra pada saat pelajaran Bahasa Indonesia. Siswa tidak hanya paham hakikat dari karya sastra tetapi juga memiliki keterampilan menuliskan karya sastra. Pada intinya siswa tidak hanya mengingat-ingat teori tentang karya sastra tetapi juga dapat menulis karya sastra. Tampaknya untuk menjadi seorang guru Bahasa Indonesia haruslah terampil dan lebih kreatif dalam memberikan materi yang berkaitan dengan menulis karya sastra agar siswa tidak memandang sebelah mata terhadap mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi juga untuk perkembangan sastra itu sendiri.
         Di samping itu, sekolah lebih kreatif memanfaatkan potensi siswa dalam menulis karya sastra. Tidak akan adil jika hanya menyalahkan guru dalam menurunnya minat siswa SMA dalam menulis karya sastra. Pihak sekolah pun juga ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan sastra terutama untuk meningkatkan keterampilan menulis karya sastra oleh siswanya. Apabila sekolah lebih kreatif lagi untuk memanfaat potensi siswa dalam hal menulis karya sastra maka perkembangan keterampilan menulis karya sastra siswa dapat terasah dengan baik. Hal ini dapat dilakukan oleh pihak sekolah dengan cara (1) memberikan buku pelajaran yang berkaitan tentang karya sastra, dengan buku-buku tersebut siswa akan lebih termotivasi untuk mempelajari karya sastra dan tak mustahil untuk menulis karya sastra, baik dalam bentuk puisi, cerpen, novel maupun karya sastra lain seperti pantun, (2) penyediaan tempat seperti mading khusus karya sastra siswa juga dapat memotivasi siswa untuk menulis karya sastra agar karya yang mereka hasilkan dapat dipajang di mading tersebut, sehingga tidak akan sia-sia siswa yang mempunyai keterampilan dalam menulis karya sastra karena hasil dari kreatifitasnya dapat terpajang dan terbaca oleh siswa lainnya, (3) sekolah lebih sering mengadakan perlombaan menulis karya sastra. Selain untuk memotivasi siswa untuk menulis karya sastra juga dapat mengatahui seberapa minat siswa kepada sastra. Pemenangnya dapat dilatih lagi dalam menulis karya sastra untuk mengikuti perlombaan di tingkat antar sekolah satu kota, satu propinsi, dan tingkat nasional, (4) sekolah mengadakan seminar atau workshop tentang menulis karya sastra. Dengan demikian siswa akan tertarik untuk mengikuti terutama bagi siswa yang memang berminat di sastra, bagi siswa yang kurang berminat menjadi berminat sekaligus dapat belajar untuk menulis karya sastra. Sebagai pengisi acara dalam seminar atau workshop, sekolah dapat mengundang seorang sastrawan lokal atau nasional untuk memberikan motivasi dan ilmunya tentang karya sastra dan mengajarkan menulis karya sastra.
Upaya melestarikan karya sastra juga dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan hasil tulisan karya sastra dan menampungnya ke dalam suatu wadah yang memang dikhususkan untuk hasil karya sastra itu sendiri. Tidak hanya satu jenis wadah seperti majalah dan penerbit buku saja, tetapi media seperti majalah baik majalah anak-anak sampai majalah orang dewasa juga menampung hasil tulisan karya-karya sastra seperti cerpen, novel dan puisi. Jika dirasa siswa kurang mampu dalam menulis sebuah cerpen atau novel, maka ia bisa menulis puisi yang tidak memakan banyak waktu, bentuknya ringkas dan padat. Karena, jika suatu hasil tulisan karya sastra hanya dibiarkan begitu saja tanpa di tampung dan di lestarikan dengan baik maka karya sastra itu sendiri akan mati dan lekang tergeser oleh era globalisasi pada zaman sekarang ini.
Selain itu, kesadaran dari diri siswa sendiri juga berperan dalam meningkatkan minat siswa. Siswa SMA merupakan remaja yang masih dalam keadaan labil. Kebanyakan pada umur-umur remaja pola pikir siswa SMA masih mementingkan kebutuhan individu daripada kelompok. Mereka masih dalam masa transisi dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Begitu pun dengan pola pikir dan tingkah laku yang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari. Seorang siswa SMA cenderung ingin terlihat eksis dengan menunjukkan keahlian baik fisik mapun psikis yang dimilikinya. Sebagai seorang manusia pasti ada jiwa seni yang terpendam di dalam dirinya yang selalu ingin ditunjukkan kepada orang lain. Inilah yang sepatutnya disadari oleh masing-masing siswa SMA bahwa mereka juga memiliki jiwa seni. Karya sastra merupakan bagian dari seni yang bisa dikembangkan di dalam diri setiap siswa SMA. Selain faktor pendukung dari guru yang harus bisa peka terhadap perkembangan keahlian yang dimilki oleh masing-masing siswa. Dari siswanya pun juga harus sadar bahwa mereka mempunyai potensi itu. Pada kenyataannya siswa sering membuat karya sastra, hanya saja mereka tidak sadar akan hal itu. Sebagai contohnya pada saat jatuh cinta, mereka cenderung mengekspresikan jiwa seninya dengan sebuah puisi kepada sang pujaan hati melalui pesan singkat berupa SMS. Inilah salah satu potensi seni dalam diri siswa yang patut untuk dikembangkan. Tetapi siswa cenderung tidak percaya diri untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan yang lebih nyata.
Apabila siswa mau untuk menuliskan karya sastra ke dalam tulisan baik itu puisi, cerpen, ataupun prosa maka potensi yang dimiliki dalam bidang sastra dapat terbaca oleh orang lain. Biarkan orang lain yang menilai apakah karya sastra itu baik atau kurang baik yang terpenting di sini dalam diri siswa sudah sadar bahwa mereka juga mempunyai jiwa seni yang patut untuk dikembangkan.
Upaya berikutnya adalah sekolah disarankan untuk mengadakan Festival Bulan Bahasa sebagai ajang kreativitas dalam menulis karya sastra. Dalam melestarikan karya sastra terlebih untuk para siswa SMA, tidak lain adalah dukungan dari lingkungan sekolah. Di mana lingkungan sekolah juga mempunyai peran penting dalam mendidik siswanya untuk terampil menghasilkan karya sastra. Hal ini sangat penting karena dengan adanya fasilitas dan media dari sekolah yaitu sebagai wadah atau tempat untuk menghasilkan karya sastra.
Media tersebut tidak lain dapat diadakan Festival Bulan Bahasa. Di mana dalam festival tersebut bertujuan untuk sebagai ajang kreativitas dalam menulis karya sastra. Dengan diadakan festival tesebut dengan sendiriya siswa akan termotivasi. Festival yang seperti itu mempunyai peran andil dalam melstarikan karya sastra karena bukan hanya menyalurkan kreativitas siswa tetapi juga memberi dampak positif bagi siwa untuk menghasilkan karya sastra dan terlebih untuk perkembangan karya sastra pada umumnya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian mengenai kegiatan melestarikan budaya menulis karya sastra dapat disimpulkan bahwa kegiatan menulis di kalangan siswa sekarang ini menurun, terutama dibidang karya sastra. Hal ini disebabkan karena minat siswa terhadap kegiatan menulis semakin kurang. Berkurangnya minat siswa karena arus globalisasi, siswa menulis karya sastra karena iseng tanpa menjadikannya suatu hobi yang lebih produktif, belum tahu benar tentang hakikat karya sastra, dan siswa yang lebih tertarik pada hal yang konkrit daripada hal yang abstrak.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat siswa SMA terhadap karya sastra di antaranya perlu adanya perhatian dari pemerintah, guru tidak lagi menganaktirikan keahlian sastra terutama keterampilan menulis karya sastra,  sekolah lebih kreatif memanfaatkan potensi siswa dalam menulis karya sastra, hasil karya sastra yang ditulis oleh siswa hendaknya ditampung dalam media yang menunjang,  kesadaran dari diri siswa sendiri, dan sekolah mengadakan Festival Bulan Bahasa sebagai ajang kreativitas dalam menulis karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Ahira, Anne. 2008. Hakikat menulis, (http://wajirannet.blogspot.com/2008/07/hakikat-menulis.html), diakses15 Februari 2011
Suparno. 2006. Keterampilan Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar