Novel
Belantik merupakan lanjutan dari
novel Bekisar Merah karya Ahmad
Tohari. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata (Bekisar Merah II) yang
berada dalam judul Belantik. Dalam
novel Belantik ini pasti ada tokoh
dan penokohan yang ada didalamnya. Tokoh-tokoh
dalam novel ini memiliki karakter
masing-masing, yang penceritaannya dapat diketahui dari tuturan langsung sang
tokoh tentang dirinya sendiri, maupun tuturan kesaksian oleh tokoh dalam bab
tentang tokoh-tokoh lain dalam bab yang lain. Tokoh merupakan seorang pelaku atau aktor yang terdapat
dalam suatu cerita. Selain tokoh yang berupa wujud manusia, ada juga tokoh yang
berwujud binatang. Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh
dalam ceritanya. Ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan
dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau
kepribadian tokoh yang ditampilkan. Sehubungan dengan hal itu maka penggambaran
tokoh dan watak sang tokoh harus wajar dan masuk akal. Maksudnya bahwa tutur kata,
tingkah laku dan perbuatan menggambarkan watak sang tokoh harus biasa terjadi
dalam kehidupan sehari-hari.
Dari
novel Belantik yang saya baca
terdapat beberapa tokoh yang ada didalamnya. Para tokoh yang telah dikemukakan
dalan novel Belantik ini diantaranya
adalah Lasi, Handarbeni, Bambung, Bu Lanting, Oning, Pak Min, Mak Min, Mbok
Wiryaji, Kang Entang, Kanjat, Eyang Mus, Mukri, Pardi, Mayor Brangas, Mbok Tir,
Drs. Cablaka, Martacarub, SH., Ir. Sutarmin MSc., Blakasunta SH., Paman Ngalwi,
perempuan-perempuan Bu Koneng seperti Si Betis dan Si Anting Besar. Dari semua
tokoh tersebut memerankan karakteristik sendiri-sendiri. Kecuali nama-nama
tokoh yang telah saya sebutkan tadi, di novel Belantik ini ada juga tokoh dari binatang seperti tikus busuk, celuruh,
ketonggeng, si ekor kipas dan labah-labah.
Sebagai
tokoh utama dalam novel Belantik ini,
Lasi digambarkan sebagai wanita Jawa yang masih memiliki darah campuran
Jawa-Jepang. Lasi adalah wanita lugu dari desa yang tidak pandai, tetapi
memegang teguh kesantunan sebagai wanita Jawa. Lasi juga digambarkan sebagai
wanita Jawa yang setia kepada
suaminya. Apapun yang terjadi selama menjadi istri seseorang, pantang baginya
untuk selingkuh ataupun dimiliki oleh orang lain, meskipun suaminya sendiri
yang menawarkan dan mengizinkannya. Hal itu tampak pada kutipan berikut.
“Begini. Kalau tidak salah, saya mendengar Anda pernah
memberi kebebasan yang sedemikian longgar kepada Lasi. Bekisar itu Anda izinkan
mencari lelaki lain asal dia mau tutup mulut dan tetap resmi menjadi istri
Anda. Begitu, kan? Kok sekarang Anda kebakaran jenggot ketika Lasi mau dipinjam
Bambung?” (Belantik : 10)
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa Lasi diperbolehkan oleh suaminya untuk mencari lelaki
lain tetapi atas pengawasan suaminya. Meskipun sudah mendapatkan kebebasan
untuk mencari yang lain pada kenyataannya Lasi tidak pernah melakukannya. Lasi
juga tidak mau bepergian dengan orang lain tanpa seizin suaminya. Segala
perilakunya benar-benar menunjukkan
kesetiaan wanita Jawa. Ketika Lasi akan diajak Bu Lanting ke Singapura,
Lasi tidak langsung mengiyakan, tatapi harus meminta persetujuan dan izin
terlebih dahulu dari suaminya. Seperti pada kutipan berikut ini :
Lasi terpana sejenak. Ada kebimbangan dan kegembiraan di
wajahnya yang tetap khas. Bibirnya bergerak-gerak namun tak terdengar apa-apa.
“Jangan bingung, Las. Aku hanya akan membawamu pergi bila
Pak Han mengizinkan kamu. Jadi, coba hubungi dia sekarang.” (Belantik : 26)
Sebagai
wanita Jawa dirinya merasakan atau mampu memahami apa yang disampaikan oleh
suaminya. Nada bicara yang didengarkan dari suaminya dapat ditangkap oleh Lasi
sebagai pertanda yang menyenangkan atau bahkan sebaliknya. Ketika Lasi
menghubungi suaminya untuk mendapatkan izin pergi dengan Bu Lanting, Lasi
merasakan nada keberatan dari suaminya.
“Tetapi Mas Han seperti terpaksa mengizinkan saya.
Suaranya berat”.
“Mungkin suamimu sedang banyak urusan. Biasa, Las, bila
sedang sibuk seorang suami akan kehilangan kehangatan. Jadi yang penting
bersiaplah. Ini baru jam sepuluh. Jam setengah satu nanti saya kembali kemari.”
(Belantik : 26)
Kutipan
di atas menggambarkan perasaan Lasi sebagai wanita Jawa benar-benar halus.
Tuturan yang disampaikan oleh Handarbeni mampu ditangkap selayaknya wanita Jawa
pada umumnya yang selalu berpegang pada etika
berbakti kepada suami. Ketidakrelaan Handarbeni dipahami oleh Lasi hanya
melalui tuturan. Kemampuan Lasi untuk memahami tuturan suaminya menunjukkan
bahwa Lasi benar-benar sebagai istri yang setia.
Keluguan sikap Lasi tercermin pada tuturannya. Dia
tidak bisa bertutur panjang lebar atau sekedar berbasa-basi seperti cara
bertutur Bu Lanting. Tetapi sebaliknya, sebagai wanita yang lugu Lasi lebih
banyak mengiyakan. Hal ini disebabkan oleh perasaan
halus dan kepolosannya sebagai wanita Jawa yang berasal dari desa, sehingga
keaslian wataknya tetap ada meskipun hidup di Jakarta sebagai orang yang kaya
dan bergelimang harta. Meskipun Lasi di Jakarta tatapi sama dengan Lasi yang di
Karangsoga.
“Las, aku bilang juga apa! Pak Bambung itu hebat. Di Jakarta,
boleh jadi tak ada lelaki yang bisa menandingi kehebatannya. Dan Sekarang dia
mencurahkan perhatiannya kepadamu. Buktinya, kalung ini tidak diberikan
kepadaku, melainkan kepadamu.”
“kepada saya?”
“ya.”
“...anu... Tapi Pak Bambung tetap pacar ibu, kan”
“Iya dong. Sampai saat ini dia masih pacarku. Tetapi
entahlah. Sudah kubilang sejak pertama kali melihatmu Pak Bambung sudah
mencuri-curi pandang.”
“Jadi ibu menyesal mengajak saya kemari?”
“Oalah, Las, aku bukan lagi perawan kencur. Aku perempuan
tua yang amat cukup pengalaman. Dan adat lelaki. Jadi nanti, bila ternyata Pak
Bambung suka sama kamu, ya sudah. Aku tak perlu merasa rugi. Betul! Toh aku
sudah dapat uangnya. Pulang dari sini lihatlah, aku akan beli Mercy model
terbaru. Dengan mobil itu si Kacamata pasti ku bawa ke mana-mana.
Apa lagi?” (Belantik : 38-39)
Tuturan Lasi hanya menggunakan kalimat yang pendek dan
langsung pada maksudnya, tanpa panjang lebar dan basa-basi. Berbeda dengan tuturan Bu Lanting yang cenderung tidak
langsung dan lebih banyak berbasa-basi. Hampir semua tuturan Lasi di novel ini
menggunakan kalimat yang pendek-pendek, apa adanya dan merupakan jawaban atau
pernyataan seperlunya saja. Dengan bahasa yang sederhana, kalimat yang pendek
sangat mencerminkan jiwa Lasi sebagai wanita Jawa yang polos, sederhana dan
setia kepada adat istiadat Jawa.
Analisis
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengarang memandang tokoh Lasi sebagai
figur wanita Jawa yang lugu, sederhana,
tidak begitu pandai, tetapi tetap memegang teguh kesantunan sebagai wanita Jawa.
Selain itu, pengarang juga menggambarkan Lasi wanita dari desa yang memiliki perasaan halus dan polos sebagai wanita
Jawa. Sedangkan tuturan yang terungkap pada tokoh Lasi ini adalah selalu
menggunakan bahasa yang sederhana, kalimat-kalimat yang pendek dan tidak berbasa-basi atau selalu apa adanya. Dari semua tutur
kata, tingkah laku dan perbuatan yang tampak pada tokoh Lasi menggambarkan
bahwa ia sangat memegang teguh budaya Jawanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar