Jumat, 05 April 2013

Budaya Jawa yang dipegang oleh Tokoh Lasi dalam novel “Belantik” (Bekisar Merah II) karya Ahmad Tohari

Novel Belantik merupakan lanjutan dari novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata (Bekisar Merah II) yang berada dalam judul Belantik. Dalam novel Belantik ini pasti ada tokoh dan penokohan yang ada didalamnya. Tokoh-tokoh dalam novel ini memiliki karakter masing-masing, yang penceritaannya dapat diketahui dari tuturan langsung sang tokoh tentang dirinya sendiri, maupun tuturan kesaksian oleh tokoh dalam bab tentang tokoh-tokoh lain dalam bab yang lain. Tokoh merupakan seorang pelaku atau aktor yang terdapat dalam suatu cerita. Selain tokoh yang berupa wujud manusia, ada juga tokoh yang berwujud binatang. Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya. Ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh yang ditampilkan. Sehubungan dengan hal itu maka penggambaran tokoh dan watak sang tokoh harus wajar dan masuk akal. Maksudnya bahwa tutur kata, tingkah laku dan perbuatan menggambarkan watak sang tokoh harus biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Dari novel Belantik yang saya baca terdapat beberapa tokoh yang ada didalamnya. Para tokoh yang telah dikemukakan dalan novel Belantik ini diantaranya adalah Lasi, Handarbeni, Bambung, Bu Lanting, Oning, Pak Min, Mak Min, Mbok Wiryaji, Kang Entang, Kanjat, Eyang Mus, Mukri, Pardi, Mayor Brangas, Mbok Tir, Drs. Cablaka, Martacarub, SH., Ir. Sutarmin MSc., Blakasunta SH., Paman Ngalwi, perempuan-perempuan Bu Koneng seperti Si Betis dan Si Anting Besar. Dari semua tokoh tersebut memerankan karakteristik sendiri-sendiri. Kecuali nama-nama tokoh yang telah saya sebutkan tadi, di novel Belantik ini ada juga tokoh dari binatang seperti tikus busuk, celuruh, ketonggeng, si ekor kipas dan labah-labah.
Sebagai tokoh utama dalam novel Belantik ini, Lasi digambarkan sebagai wanita Jawa yang masih memiliki darah campuran Jawa-Jepang. Lasi adalah wanita lugu dari desa yang tidak pandai, tetapi memegang teguh kesantunan sebagai wanita Jawa. Lasi juga digambarkan sebagai wanita Jawa yang setia kepada suaminya. Apapun yang terjadi selama menjadi istri seseorang, pantang baginya untuk selingkuh ataupun dimiliki oleh orang lain, meskipun suaminya sendiri yang menawarkan dan mengizinkannya. Hal itu tampak pada kutipan berikut.
“Begini. Kalau tidak salah, saya mendengar Anda pernah memberi kebebasan yang sedemikian longgar kepada Lasi. Bekisar itu Anda izinkan mencari lelaki lain asal dia mau tutup mulut dan tetap resmi menjadi istri Anda. Begitu, kan? Kok sekarang Anda kebakaran jenggot ketika Lasi mau dipinjam Bambung?” (Belantik : 10)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Lasi diperbolehkan oleh suaminya untuk mencari lelaki lain tetapi atas pengawasan suaminya. Meskipun sudah mendapatkan kebebasan untuk mencari yang lain pada kenyataannya Lasi tidak pernah melakukannya. Lasi juga tidak mau bepergian dengan orang lain tanpa seizin suaminya. Segala perilakunya benar-benar menunjukkan kesetiaan wanita Jawa. Ketika Lasi akan diajak Bu Lanting ke Singapura, Lasi tidak langsung mengiyakan, tatapi harus meminta persetujuan dan izin terlebih dahulu dari suaminya. Seperti pada kutipan berikut ini :
Lasi terpana sejenak. Ada kebimbangan dan kegembiraan di wajahnya yang tetap khas. Bibirnya bergerak-gerak namun tak terdengar apa-apa.
“Jangan bingung, Las. Aku hanya akan membawamu pergi bila Pak Han mengizinkan kamu. Jadi, coba hubungi dia sekarang.” (Belantik : 26)

Sebagai wanita Jawa dirinya merasakan atau mampu memahami apa yang disampaikan oleh suaminya. Nada bicara yang didengarkan dari suaminya dapat ditangkap oleh Lasi sebagai pertanda yang menyenangkan atau bahkan sebaliknya. Ketika Lasi menghubungi suaminya untuk mendapatkan izin pergi dengan Bu Lanting, Lasi merasakan nada keberatan dari suaminya.
“Tetapi Mas Han seperti terpaksa mengizinkan saya. Suaranya berat”.
“Mungkin suamimu sedang banyak urusan. Biasa, Las, bila sedang sibuk seorang suami akan kehilangan kehangatan. Jadi yang penting bersiaplah. Ini baru jam sepuluh. Jam setengah satu nanti saya kembali kemari.” (Belantik : 26)

Kutipan di atas menggambarkan perasaan Lasi sebagai wanita Jawa benar-benar halus. Tuturan yang disampaikan oleh Handarbeni mampu ditangkap selayaknya wanita Jawa pada umumnya yang selalu berpegang pada etika berbakti kepada suami. Ketidakrelaan Handarbeni dipahami oleh Lasi hanya melalui tuturan. Kemampuan Lasi untuk memahami tuturan suaminya menunjukkan bahwa Lasi benar-benar sebagai istri yang setia.
Keluguan  sikap Lasi tercermin pada tuturannya. Dia tidak bisa bertutur panjang lebar atau sekedar berbasa-basi seperti cara bertutur Bu Lanting. Tetapi sebaliknya, sebagai wanita yang lugu Lasi lebih banyak mengiyakan. Hal ini disebabkan oleh perasaan halus dan kepolosannya sebagai wanita Jawa yang berasal dari desa, sehingga keaslian wataknya tetap ada meskipun hidup di Jakarta sebagai orang yang kaya dan bergelimang harta. Meskipun Lasi di Jakarta tatapi sama dengan Lasi yang di Karangsoga.
“Las, aku bilang juga apa! Pak Bambung itu hebat. Di Jakarta, boleh jadi tak ada lelaki yang bisa menandingi kehebatannya. Dan Sekarang dia mencurahkan perhatiannya kepadamu. Buktinya, kalung ini tidak diberikan kepadaku, melainkan kepadamu.”
“kepada saya?”
“ya.”
“...anu... Tapi Pak Bambung tetap pacar ibu, kan”
“Iya dong. Sampai saat ini dia masih pacarku. Tetapi entahlah. Sudah kubilang sejak pertama kali melihatmu Pak Bambung sudah mencuri-curi pandang.”
“Jadi ibu menyesal mengajak saya kemari?”
“Oalah, Las, aku bukan lagi perawan kencur. Aku perempuan tua yang amat cukup pengalaman. Dan adat lelaki. Jadi nanti, bila ternyata Pak Bambung suka sama kamu, ya sudah. Aku tak perlu merasa rugi. Betul! Toh aku sudah dapat uangnya. Pulang dari sini lihatlah, aku akan beli Mercy model terbaru. Dengan mobil itu si Kacamata pasti ku bawa ke mana-mana.
Apa lagi?” (Belantik : 38-39)

Tuturan Lasi hanya menggunakan kalimat yang pendek dan langsung pada maksudnya, tanpa panjang lebar dan basa-basi. Berbeda dengan tuturan Bu Lanting yang cenderung tidak langsung dan lebih banyak berbasa-basi. Hampir semua tuturan Lasi di novel ini menggunakan kalimat yang pendek-pendek, apa adanya dan merupakan jawaban atau pernyataan seperlunya saja. Dengan bahasa yang sederhana, kalimat yang pendek sangat mencerminkan jiwa Lasi sebagai wanita Jawa yang polos, sederhana dan setia kepada adat istiadat Jawa.
Analisis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengarang memandang tokoh Lasi sebagai figur wanita Jawa yang lugu, sederhana, tidak begitu pandai, tetapi tetap memegang teguh kesantunan sebagai wanita Jawa. Selain itu, pengarang juga menggambarkan Lasi wanita dari desa yang memiliki perasaan halus dan polos sebagai wanita Jawa. Sedangkan tuturan yang terungkap pada tokoh Lasi ini adalah selalu menggunakan bahasa yang sederhana, kalimat-kalimat yang pendek dan tidak berbasa-basi atau selalu apa adanya. Dari semua tutur kata, tingkah laku dan perbuatan yang tampak pada tokoh Lasi menggambarkan bahwa ia sangat memegang teguh budaya Jawanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar