Sabtu, 06 April 2013

ALIH KODE, CAMPUR KODE, INTERFERENSI, DAN INTEGRASI


A.    ALIH KODE
Appel (1976) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Berbeda dengan Appel, Hymes (1875) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa. Contohnya pergantian bahasa dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai, dan situasi formal menjadi tidak formal inilah yang disebut dengan alih kode. Pengalihan kode itu dilakukan dengan sadar dan bersebab. Penyebab terjadinya alih kode menurut Fishman (1976) yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu adalah (1) pembicaraan atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.
Di samping lima hal tersebut yang lazim dikemukakan sebagai faktor terjadinya alih kode, Widjajakusumah (1981) melaporkan hasil penelitiannya mengenai sebab-sebab terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, dan sebaliknya dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda di kota Bandung. Yang dimaksud dengan penutur Sunda oleh Widjajakusumah adalah penutur yang berbahasa ibu bahasa Sunda, lalu disamping itu biasanya pula menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya. Verbal repertoir penutur Sunda ini adalah pertama, bahasa Sunda ragam halus dan ragam kasarnya; kedua, bahasa Indonesia dengan ragam baku dan ragam nonbakunya; dan ketiga adalah bahasa Indonesia Jawa Barat, yakni bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan. Setiap bahasa dan ragam-ragamnya itu mempunyai fungsi pemakaian tertentu. Menurut Widjajakusumah terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia adalah karena (1) kehadiran orang ketiga, (2) perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis, (3) beralihnya suasana bicara, (4) ingin dianggap terpelajar, (5) ingin menjauhkan jarak, (6) menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda, (7) mengutip pembicaraan orang lain, (8) terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia, (9) mitra bicaranya lebih mudah, (10) berada ditempat umum, (11) menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda, dan (11) beralih media/sara bicara. Sedangkan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Sunda merupakan kebalikan dari penyebab alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia. Dalam masyarakat tutur tertentu, terutama yang mengenal tingkatan sosial bahasa, ada alih kode yang terjadi tidak secara drastis, melainkan berjenjang menurut satu kontinum, sedikit demi sedikit, dari yang dekat sampai yang jauh perbedaanya, sehingga alih kode itu tidak terasa ”mengagetkan”.
Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.

B.     CAMPUR KODE
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Kesamaan yang ada dalam alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Thelander (1976: 103) mengatakan bahwa di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Namun apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode. Fasold (1984) mengatakan bahwa apabila seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Namun apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menutur struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Dari kedua pendapat di atas tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa campur kode itu dapat berupa pencampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi di dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain. Tewaran Fasold (1984) yang sejalan dengan pendapat Thelander (1976) tampaknya memang merupakan jalan terbaik sampai saat ini untuk membicarakan peristiwa alih kode dan campur kode.

C.    INTERFERENSI
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Kemampuan setiap penutur terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi. Ada yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, ada pula yang tidak. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan sama baiknya antara B1 dan B2 oleh Ervin dan Osgood (1965:139) dalam Chaer (2004:121) disebut berkemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan yang berkemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan B1-nya disebut berkemampuan bahasa majemuk. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya interferensi atau “pengacauan” (Nababan, 1984). Hartman dan Stork (1972:115) tidak menyebutnya “pengacauan” melainkan “kekeliruan” yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Interferensi dalam bidang sintaksis, kita ambil contoh kalimat dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Jawa - Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Bunyi kalimat itu “Di sini toko Laris yang mahal sendiri” (diangkat dari Djoko Kentjono 1982). Kalimat bahasa Indonesia itu berstruktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya adalah “Ning kene toko Laris sing larang dhewe”. Kata sendiri dalam kalimat bahasa Jawa itu merupakan terjemahan dari kata dhewe. Kata dhewe dalam bahasa Jawa, antara lain, memang berarti ‘sendiri’, seperti terdapat pada kalimat “Aku dhewe sing teko” (Saya sendiri yang datang). Tetapi kata dhewe yang terdapat di antara kata sing dan adjektif adalah berarti ‘paling’, seperti sing dhuwur dhewe ‘yang paling tinggi’, dan sing larang dhewe ‘yang paling mahal’. Dengan demikian dalam bahasa Indonesia baku kalimat tersebut di atas seharusnya berbunyi “Toko Laris adalah toko yang paling mahal di sini”.
Menurut Soewito (1983:59) interferensi dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Nusantara berlaku bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa-bahasa daerah. Tetapi dengan bahasa asing, bahasa Indonesia hanya menjadi penerima dan tidak pernah menjadi pemberi.

2 komentar: