Bilingualisme merupakan keadaan penggunaan bahasa
secara bergantian dalam masyarakat. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya
seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Namun pada kenyataanya sangat
jarang orang yang mampu menguasai kedua bahasa itu sama baiknya. Kalaupun ada
barangkali akan jarang sekali. Seorang bilingual yang menggunakan kedua bahasa
harus memperhatikan masalah pokok yang ada dalam sosiolinguistik yaitu “siapa
berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”.
Sejauh mana kedua bahasa dapat saling mempengaruhi
bahasa yang digunakan oleh bilingual selalu dikaitkan dengan tingkat
kefasihannya dalam berbahasa. Namun pada kenyataanya sering kali dijumpai agar
terlihat fasih di depan orang lain, seseorang tersebut menyelipkan kosakata
bahasa lain untuk suatu kebutuhan, karena sikap bahasa, atau karena ingin
bergengsi. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memberi peluang untuk
menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur bilingual, yang menggunakan dua buah
bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat yang demikian tidak hanya
terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang
sangat luas bahkan meliputi satu negara.
Diglosia oleh Ferguson (1958) diartikan sebagai
adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa (terutama fungsi T dan R). Diglosia
yang dijelaskan oleh ferguson tersebut mengetengahkan sembilan topik yaitu
fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, stadardisasi, stabilitas,
gramatika, leksikon, dan fonologi. Berbeda dengan ferguson, Fishman (1972)
menyatakan bahwa diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan
ragam R pada bahasa yang sama, melainkan juga berlaku pada bahasa yang sama
sekali tidak berlainan. Jadi yang menjadi tekanan Fishman adalah adanya
pembedaan fungsi kedua bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan. Pakar
sosiolog lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi
apa yang disebut broad diglosia yakni
perbedaan tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam bahasa atau dua dialek
secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dialek itu. Sehingga
muncullah diglosia ganda dalam bentuk double
overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
Ada empat jenis hubungan bilingualisme dan diglosia,
yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui
ragam/bahasa T dan ragam/bahasa R. Kedua ragam bahasa itu digunakan menurut
fungsinya masing-masing, (2) bilingualisme tanpa diglosia, sejumlah individu
yang bilingual dapat mnggunakan bahasa yang mana pun untuk situasi dan tujuan
apapun, (3) diglosia tanpa bilingualisme, masyarakat yang diglosis tanpa
disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai masyarakat tutur, sebab
kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi, dan (4) tidak diglosia dan tidak
bilingualisme, masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme hanya ada
satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar