Sabtu, 06 April 2013

Bilingualisme dan Diglosia


Bilingualisme merupakan keadaan penggunaan bahasa secara bergantian dalam masyarakat. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Namun pada kenyataanya sangat jarang orang yang mampu menguasai kedua bahasa itu sama baiknya. Kalaupun ada barangkali akan jarang sekali. Seorang bilingual yang menggunakan kedua bahasa harus memperhatikan masalah pokok yang ada dalam sosiolinguistik yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”.
Sejauh mana kedua bahasa dapat saling mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh bilingual selalu dikaitkan dengan tingkat kefasihannya dalam berbahasa. Namun pada kenyataanya sering kali dijumpai agar terlihat fasih di depan orang lain, seseorang tersebut menyelipkan kosakata bahasa lain untuk suatu kebutuhan, karena sikap bahasa, atau karena ingin bergengsi. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas bahkan meliputi satu negara.
Diglosia oleh Ferguson (1958) diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa (terutama fungsi T dan R). Diglosia yang dijelaskan oleh ferguson tersebut mengetengahkan sembilan topik yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, stadardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi. Berbeda dengan ferguson, Fishman (1972) menyatakan bahwa diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan ragam R pada bahasa yang sama, melainkan juga berlaku pada bahasa yang sama sekali tidak berlainan. Jadi yang menjadi tekanan Fishman adalah adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan. Pakar sosiolog lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebut broad diglosia yakni perbedaan tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam bahasa atau dua dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dialek itu. Sehingga muncullah diglosia ganda dalam bentuk double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
Ada empat jenis hubungan bilingualisme dan diglosia, yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam/bahasa T dan ragam/bahasa R. Kedua ragam bahasa itu digunakan menurut fungsinya masing-masing, (2) bilingualisme tanpa diglosia, sejumlah individu yang bilingual dapat mnggunakan bahasa yang mana pun untuk situasi dan tujuan apapun, (3) diglosia tanpa bilingualisme, masyarakat yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai masyarakat tutur, sebab kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi, dan (4) tidak diglosia dan tidak bilingualisme, masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar