Sabtu, 06 April 2013

Bahasa dan Jenis Kelamin


Menurut penelitian ada sejumlah masyarakat tutur pria berbeda dengan tutur wanita. Dalam penelitian-penelitian linguistik kadang-kadang wanita tidak dipakai sebagai informan karena alasan-alasan tertentu. Wanita cenderung mempunyai sikap “hiperkorek” sehingga dianggap mengaburkan situasi yang sebenarnya yang dikehendaki oleh para peneliti. Karena posisi seperti itu, wanita berusaha keras dengan segala cara untuk “meningkatkan” dirinya sederajat dengan laki-laki dan salah satu cara yang paling efektif ialah dengan mamakai bahasa ragam baku sebaik-baiknya.s
Perbedaan pria dengan wanita kemungkinan tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal lain yang membarengi tutur. Hal-hal itu antara lain gerak badan (gesture) dan ekspresi wajah. Dalam hal intonasi, pada wanita intonasinya lebih “memanjang” pada bagian akhir kalimat. Dalam bahasa Indonesia kita kenal istilah “suara manja” yang khas pada wanita.
Keseragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial yang erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Pada ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik dan kelompok sosial, sekurang-kurangnya sebagian, adalah akibat dari jarak sosial, sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin tadi adalah akibat dari perbedaan sosial.
Banyak bukti bahwa nilai sosial dan peranan jenis kelamin dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan tertentu. Kita ketahui, penutur yang banyak memperhatikan tuturnya secara linguistik akan cenderung untuk menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status prestise tersembunyi.
Berdasarkan penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia, secara umum dapat dikatakan sikap kebahasaan wanita cenderung mendua. Artinya, ada semacam kontroversi atau pertentangan sikap. Di satu pihak, berdasarkan analisis dan segi usia, pekerjaan, maupun pendidikan, kaum wanita itu tidak begitu menganggap penting penguasaan bahasa.
Pada kelompok orang berjenis kelamin “khusus”, yaitu yang di Indonesia disebut waria (banci) dan “gay. Berdasarkan penelitian Dede Oetomo yang meneliti bahasa waria dan gay di Surabaya dan sekitarnya, bahasa mereka sebagai model bahasa “rahasia”. Karena tampak “kelainannya” karena adanya sejumlah kosakata yang khas yang berbeda dengan kosakata umum. Bahasa waria data ditinjau dari dua segi, yaitu (1) struktur pembentukan istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan, dan (2) penciptaan istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar