Menurut
penelitian ada sejumlah masyarakat tutur pria berbeda dengan tutur wanita.
Dalam penelitian-penelitian linguistik kadang-kadang wanita tidak dipakai
sebagai informan karena alasan-alasan tertentu. Wanita cenderung mempunyai
sikap “hiperkorek” sehingga dianggap mengaburkan situasi yang sebenarnya yang
dikehendaki oleh para peneliti. Karena posisi seperti itu, wanita berusaha
keras dengan segala cara untuk “meningkatkan” dirinya sederajat dengan
laki-laki dan salah satu cara yang paling efektif ialah dengan mamakai bahasa
ragam baku sebaik-baiknya.s
Perbedaan
pria dengan wanita kemungkinan tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau
strukturnya, melainkan hal-hal lain yang membarengi tutur. Hal-hal itu antara
lain gerak badan (gesture) dan
ekspresi wajah. Dalam hal intonasi, pada wanita intonasinya lebih “memanjang”
pada bagian akhir kalimat. Dalam bahasa Indonesia kita kenal istilah “suara
manja” yang khas pada wanita.
Keseragaman
bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial
yang erat hubungannya dengan sikap sosial.
Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk
mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Pada ragam
bahasa berdasarkan kelompok etnik dan kelompok sosial, sekurang-kurangnya
sebagian, adalah akibat dari jarak sosial,
sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin tadi adalah akibat dari perbedaan sosial.
Banyak
bukti bahwa nilai sosial dan peranan jenis kelamin dapat mempengaruhi sikap
penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan tertentu. Kita ketahui, penutur
yang banyak memperhatikan tuturnya secara linguistik akan cenderung untuk
menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status prestise tersembunyi.
Berdasarkan
penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia, secara umum dapat
dikatakan sikap kebahasaan wanita cenderung
mendua. Artinya, ada semacam kontroversi atau pertentangan sikap. Di satu
pihak, berdasarkan analisis dan segi usia, pekerjaan, maupun pendidikan, kaum
wanita itu tidak begitu menganggap penting penguasaan bahasa.
Pada
kelompok orang berjenis kelamin “khusus”, yaitu yang di Indonesia disebut waria (banci) dan “gay. Berdasarkan penelitian Dede Oetomo yang meneliti bahasa waria
dan gay di Surabaya dan sekitarnya, bahasa mereka sebagai model bahasa
“rahasia”. Karena tampak “kelainannya”
karena adanya sejumlah kosakata yang khas yang berbeda dengan kosakata umum.
Bahasa waria data ditinjau dari dua segi, yaitu (1) struktur pembentukan
istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan, dan (2)
penciptaan istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah
ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar