Sabtu, 06 April 2013

ALIH KODE, CAMPUR KODE, INTERFERENSI, DAN INTEGRASI


A.    ALIH KODE
Appel (1976) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Berbeda dengan Appel, Hymes (1875) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa. Contohnya pergantian bahasa dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai, dan situasi formal menjadi tidak formal inilah yang disebut dengan alih kode. Pengalihan kode itu dilakukan dengan sadar dan bersebab. Penyebab terjadinya alih kode menurut Fishman (1976) yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu adalah (1) pembicaraan atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.
Di samping lima hal tersebut yang lazim dikemukakan sebagai faktor terjadinya alih kode, Widjajakusumah (1981) melaporkan hasil penelitiannya mengenai sebab-sebab terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, dan sebaliknya dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda di kota Bandung. Yang dimaksud dengan penutur Sunda oleh Widjajakusumah adalah penutur yang berbahasa ibu bahasa Sunda, lalu disamping itu biasanya pula menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya. Verbal repertoir penutur Sunda ini adalah pertama, bahasa Sunda ragam halus dan ragam kasarnya; kedua, bahasa Indonesia dengan ragam baku dan ragam nonbakunya; dan ketiga adalah bahasa Indonesia Jawa Barat, yakni bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan. Setiap bahasa dan ragam-ragamnya itu mempunyai fungsi pemakaian tertentu. Menurut Widjajakusumah terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia adalah karena (1) kehadiran orang ketiga, (2) perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis, (3) beralihnya suasana bicara, (4) ingin dianggap terpelajar, (5) ingin menjauhkan jarak, (6) menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda, (7) mengutip pembicaraan orang lain, (8) terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia, (9) mitra bicaranya lebih mudah, (10) berada ditempat umum, (11) menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda, dan (11) beralih media/sara bicara. Sedangkan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Sunda merupakan kebalikan dari penyebab alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia. Dalam masyarakat tutur tertentu, terutama yang mengenal tingkatan sosial bahasa, ada alih kode yang terjadi tidak secara drastis, melainkan berjenjang menurut satu kontinum, sedikit demi sedikit, dari yang dekat sampai yang jauh perbedaanya, sehingga alih kode itu tidak terasa ”mengagetkan”.
Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.

B.     CAMPUR KODE
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Kesamaan yang ada dalam alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Thelander (1976: 103) mengatakan bahwa di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Namun apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode. Fasold (1984) mengatakan bahwa apabila seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Namun apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menutur struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Dari kedua pendapat di atas tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa campur kode itu dapat berupa pencampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi di dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain. Tewaran Fasold (1984) yang sejalan dengan pendapat Thelander (1976) tampaknya memang merupakan jalan terbaik sampai saat ini untuk membicarakan peristiwa alih kode dan campur kode.

C.    INTERFERENSI
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Kemampuan setiap penutur terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi. Ada yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, ada pula yang tidak. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan sama baiknya antara B1 dan B2 oleh Ervin dan Osgood (1965:139) dalam Chaer (2004:121) disebut berkemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan yang berkemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan B1-nya disebut berkemampuan bahasa majemuk. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya interferensi atau “pengacauan” (Nababan, 1984). Hartman dan Stork (1972:115) tidak menyebutnya “pengacauan” melainkan “kekeliruan” yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Interferensi dalam bidang sintaksis, kita ambil contoh kalimat dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Jawa - Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Bunyi kalimat itu “Di sini toko Laris yang mahal sendiri” (diangkat dari Djoko Kentjono 1982). Kalimat bahasa Indonesia itu berstruktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya adalah “Ning kene toko Laris sing larang dhewe”. Kata sendiri dalam kalimat bahasa Jawa itu merupakan terjemahan dari kata dhewe. Kata dhewe dalam bahasa Jawa, antara lain, memang berarti ‘sendiri’, seperti terdapat pada kalimat “Aku dhewe sing teko” (Saya sendiri yang datang). Tetapi kata dhewe yang terdapat di antara kata sing dan adjektif adalah berarti ‘paling’, seperti sing dhuwur dhewe ‘yang paling tinggi’, dan sing larang dhewe ‘yang paling mahal’. Dengan demikian dalam bahasa Indonesia baku kalimat tersebut di atas seharusnya berbunyi “Toko Laris adalah toko yang paling mahal di sini”.
Menurut Soewito (1983:59) interferensi dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Nusantara berlaku bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa-bahasa daerah. Tetapi dengan bahasa asing, bahasa Indonesia hanya menjadi penerima dan tidak pernah menjadi pemberi.

Campur Kode


Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Kesamaan yang ada dalam alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Thelander (1976: 103) mengatakan bahwa di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan sari suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Namun apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode.
Fasold (1984) mengatakan bahwa apabila seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Namun apabila satu klausa jelas-jelas memiliki sturktur gramatika asatu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menutur struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Dari kedua pendapat di atas tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa campur kode itu dapat berupa pencampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi di dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain. Tewaran Fasold (1984) yang sejalan dengan pendapat Thelander (1976) tampaknya memang merupakan jalan terbaik sampai saat ini untuk membicarakan peristiwa alih kode dan campur kode. 

Profil Sosiolinguistik di Indonesia


            Indonesia adalah negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dengan berbagai bahasa daerah, serta berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Keadaan kebahasaan di Indonesia kini ditandai dengan adanya sebuah bahasa nasional yang sekaligus juga menjadi bahasa negara, adanya ratusan bahasa daerah, dan adanya sejumlah bahasa asing, yang digunakan atau diajarkan di dalam pendidikan formal. Masalah umum yang berkenaan dengan status sosial dan politik ketiga bahasa itu, masalah penggunaannya, masalah saling pengaruh di antara ketiganya, masalah pembinaan, pengembangan, dan pengajarannya.
Terkait dengan bahasa Indonesia berasal dari Pijin yang dilontarkan oleh R.A Hall, tampaknya pernyataan tersebut kurang benar. Ada beberapa bukti yang menyanggah yang dilontarkan oleh Kridalaksana terkait dengan bahasa Indonesia berasal dari Pijin.
Masalah pendidikan dan pengajaran bahasa sebagai salah satu topik dalam sosiolinguistik dan sebagai salah satu sarana untuk pembakuan dan pembinaan bahasa. Dalam pendidikan formal, pendidikan bahasa Indonesia mempunyai dua muka, pertama bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan dan kedua, sebagai mata pelajaran bahasa Indonesia termasuk mata pelajaran yang penting. Oleh karena itu, ada ketentuan dalam pendidikan formal di tingkat dasar dan di tingkat menengah bahwa mata pelajaran bahasa indonesia tidak boleh bernilai kurang untuk lulus atau naik kelas.
Secara nasional kedudukan bahasa Indonesia adalah pada tingkat pertama, bahasa daerah adalah pada tingkat kedua, dan bahasa asing pada tingkat ketiga. Namun apabila dilihat dari segi emosional, keakraban, dan perolehan bahasa bisa saja kedudukan ketiga bahasa tersebut dapat berubah. Oleh karena itu, ada hubungan yang saling menentukan dalam menguasai dan mampu berbahasa antara penguasaan kaidah, kemampuan menggunakan logika dengan benar, dan frekuensi berlatih menggunakan bahasa. 

Pendidikan dan Pengajaran Bahasa


Sejak dulu pendidikan sudah dilakukan orang yang digunakan untuk mewariskan nilai-nilai budaya dari segi generasi tua kepada generasi berikutnya. Karena bahasa adalah juga bagian dari kebudayaan, meskipun juga untuk menyampaikan segi-segi kebudayaan lainnya, maka pewarisan kemampuan berbahasa dan sikap positif terhadap bahasa dapat pula dilakukan melalui jalur pendidikan itu.
Dalam pembelajaran bahasa melalui pendidikan ada variabel yang ada di dalamnya yiatu murid, guru, bahan  pelajaran, dan tujuan pengajaran. Keempat variabel tersebut mempunyai hubungan fungsional dalam kegiatan belajar mengajar dan turut menentukan keberhasilan belajar. Di samping keempat variabel tersebut masih ada variabel lain yang turut menentukan keberhasilan belajar, yaitu lingkungan keluarga dan masyarakat tempat siswa tinggal dan lingkungan sekolah tampat murid belajar. Dalam masyarakat yang multilingual, multirasial, dan multikultural, maka faktor kebahasaan, kebudayaan, sosial, dan etnis juga merupakan variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengajaran bahasa. Dengan demikian dalam proses belajar mengajar bahasa ada sejumlah variabel, baik yang bersifat linguistik maupun yang bersifat nonlinguistik, yang dapat menentukan keberhasilan belajar mengajar.
Selain variabel-variabel di atas ada faktor lain yang juga menentukan keberhasilan belajar bahasa, yaitu yang disebut asas-asas belajar, yang dapat dikelompokkan menjadi asas-asas yang bersifat psikologis anak didik, dan yang bersifat materi linguistik. Asas-asas yang bersifat psikologis itu antara lain, motivasi, pengalaman diri, keingintahuan, berfikir analisis-sintesis, dan perbedaan individual. Di samping asas-asas yang berkaitan dengan anak dan psikologi seperti dibicarakan di atas, ada pula asas-asas dalam belajar yang berkenaan dengan materi dan metodik. Asas-asas ini perlu diperhatikan agar dapat dicapai hasil yang maksimal dalam proses belajar mengajar itu. Adapun asas-asas itu adalah mudah menuju susah, sederhana menuju kompleks pengetahuan, dekat menuju jauh, pola menuju unsur, penggunaan menuju pengetahuan, masalah buka kebiasaan, dan kenyataan bukan buatan.
Tujuan pendidikan nasional di Indonesia pada dasarnya membentuk manusia Pancasilais. Jika nilai-nilai yang ada pada Pancasila tlah tertenam dalam setiap jiwa, maka manusia akan memunyai perilaku yang sesuai asas-asas Pancasila dalam segala tindakan manusia tersebut, termasuk dalam berbahasa Indonesia, dan memiliki sikap posotif terhadap bahasa. Tujuan pendidikan nasional ini berlaku secara nasional dan diharapkan dapat diikitsertakan pemberiannya dalam semua jenjang pendidikan, dan semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran bahasa Indonesia.
Dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua. Bahkan kedua ini bisa bahasa nasional. pengajaran bahasa kedua tentunya akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik. Masalah-masalah itu ada yang ringan dan ada yang berat.
Konsep umum yang bisa ditangkap dari sekian banyak pertemuan, bahwa pragmatik adalah ketrampilan menggunakan bahasa menurut partisipan, topik pembicaraan, tujuan pembicaraan, situasi dan tempat berlangsungnya pembicaraan itu.

Bahasa dan Kebudayaan


Kebudayaan merupakan segala hal yang manyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku di masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan, dan tradisi yang biasa dilakukan, dan termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat komunikasi nonverbal lainnya.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan sangat erat dan saling mempengaruhi. Dalam hubungan bahasa dan kebudayaan ada yang bersifat koordinatif dan subordinatif. Bersifat koordinatif karena mempunyai kedudukannya sama tingginya. Sedangkan bersifat suborniatif karena kedudukan bahasa di bawah kedudukan kebudayaan. Silzer (1990) mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebalinknya.
Adanya hubungan tindak berbahasa dengan sikap mental para penuturnya ada dibicarakan oleh Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (1990) buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental sebagian besar orang Indonesia. sifat-sifat negatif itu adalah suka meremehkan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggan bertanggungjawab, dan suka latah atau ikut-ikutan.
Masinambaow (1984) mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa. Etika berbahasa ini erat dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam sautu masyarakat.

Perencanaan Bahasa


Pada setiap negara multilingual, multirasial, dan multikultural, dalam menjamin kelangsungan komunikasi kebangsaan perlu dilakukan suatu perencanaan bahasa yang tentunya dimulai dengan kebijaksanaan bahasa. Multilingual adalah adanya dan digunakannya banyak bahasa dengan berbagai ragamnya di dalam wilayah negara itu secara berdampingan. Multirasial adalah terdapat etnis yang berbeda, yang biasanya dapat dikenali dari ciri-ciri fisik tertentu atau dari bahasa dan budaya yang melekat pada etnis tersebut. Multikultural adalah terdapatnya berbagai budaya, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda dari penduduk yang mendiami negara tersebut. Seperti negara Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan India. Kebijaksanaan Bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasa dan bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut agar komunikasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Selain memberi keputusan mengenai status, kedudukan dan fungsi bahasa, kebijaksanaan bahasa harus pula memberi pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa itu yang biasa disebut korpus bahasa.
Keperluan suatu bangsa atau negara untuk memiliki sebuah bahasa yang menjadi identitas nasionalnya dan satu bahasa, atau lebih, yang menjadi bahasa resmi kenegaraan tidak selalu bisa dipenuhi oleh bahasa atau bahasa-bahasa asli pribumi yang dimiliki. Indonesia dapata memenuhi kebutuhan itu dari bahasa asli pribumi; Filipina dapat memnuhi sebagian; sedangkan Somalia tidak sama sekali. Berkenaan dengan itu, dalam perencanaan bahasa dikenal adanya negara tipe endoglasik, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Belgia, dan  Republik Rakyat Cina. Tipe eksoglasik-endoglasik, seperti Filipina, India, Singapura, Tanzania, dan Ethiopia. Tipe eksoglasik, seperti Somalia, Haiti, Senegal, Liberia, Mautirenia, Sudan, Papua Nugini, Nigeria, Ghana, dan Republik Rakyat Kongo.
Perencanaan bahasa merupakan kegiatan yang harus dilakukan setelah melakukan kebijaksanaan bahasa. Atau dengan kata lain, perencanaan bahasa itu disusun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan bahasa. Istilah perencanaan bahasa (language planning) mengandung banyak istilah, seperti yang dikemukakan oleh Haugen (1959) bahwa istilah perncanaan bahasa merupakan usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Jamud dan Das Gupta (1971) mengatakan perencanaan bahasa kegiatan politis dan administratif untuk menyelesaikan persoalan bahasa di dalam masyarakat. Ray (1961, yang dikutip Moeliono 1983) berpendapat bahwa perencanaan bahasa terbatas pada saran atau rekomendasi yang aktif untuk mengatasi masalah pemakaian bahasa dengan cara yang paling baik. Pakar lain, Neustupny (1970) dan Gorman (1973), serta Galvin (1973) membedakan adanya dua macam perencanaan bahasa, yaitu (1) pemilihan bahasa untuk maksud dan tujuan tertentu seperti utnuk bahasa kebangsaan dan bahasa resmi, dan (2) pengembangan bahasa yang terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf keberaksaraan, dan juga usaha pembakuan bahasa.
Berhasil atau tidaknya usaha perencanaan bahasa ini adalah masalah evaluasi. Evaluasi terhadap bahasa sukar untuk dilakukan, sebab masalah-masalah dalam pembakuan bahasa termasuk masalah yang kompleks, sukar dirumuskan, sukar dipecahkan, dan tidak mengenal aturan berhenti. 

Perubahan, Pergeseran, dan Pemertahanan Bahasa


Perubahan bahasa menyangkut soal bahasaa sebagai kode, di mana sesuai dengan sifatnya yang dinamis, sebagai akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu bisa berubah. Terjadinya perubahan bahasa tidak dapat diamati. Namun, yang dapat diketahui adalah bukti adanya perubahan bahasa itu. Ini pun terbatas pada bahasa-bahasa yang mempunyai tradisi tulis, dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa yang sudah lama berlalu. Perubahan bahasa lazim diartikan sebagai adanya perubahan kaidah, entah itu direvisi, kaidahnya menghilang, atau munculnya kaidah baru. Dan semua itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon.
Sebagai bukti dari perubahan bahasa secara fonologi yaitu yang tadinya ada menjadi tidak ada, misal: adanya fonem /f/, /x/, dan /s/ yang dulu belum ada di khazanah bahasa Indonesia, tetapi sekarang sudah ada. Perubahan morfologi terjadi pada pembentukan kata, seperti yang dikemukakan oleh para ahli bahasa tradisional yang tidak mau menerima alomorf menge- dan penge- karena menyalahi kaidah dan dianggap merusak bahasa. Namun, kini kedua alomorf itu diakui sebagai dua alomorf bahasa Indonesia untuk morfem me- dan pe- . Misal, menurut kaidah sintaksis yang berlaku sebuah kalimat aktif transitif harus selalu mempunyai objek atau dengan rumusan lain, setiap kata kerja aktif transitif harus selalu diikuti oleh objek. Namun dewasa ini kalimat transitif banyak yang tidak dilengkapi objek. Perubahan kosakata dapat berarti bertambahnya kosakata baru, hilangnya kosakata lama, dan berubahnya makna kata.
Perubahan semantik berupa perubahan pada makna butir-butir leksikal yang mungkin berubah total, meluas, atau juga menyempit. Perubahan yang bersifat total maksudnya kalau dulu kata bermakna A kini menjadi bermakna B, misal kata “bead” artinya, dulu ‘doa, sembahyang’, kini ‘tasbih, butir-butir tasbih’. Perubahan makna meluas maksudnya dulu kata tersebut hanya memiliki satu makna, tetapi kini memiliki lebih dari satu makna. Misal, kata “holiday”, dulu artinya ‘hari suci’, kini bertambah dengan makna ‘hari libur’. Perubahan makna yang menyempit, artinya, kalau pada mulanya kata itu memiliki makna luas, tetapi kini lebih sempit maknanya. Misalnya kata sarjana dalam bahasa Indonesia bermakna ‘orang cerdik pandai’, tapi kini bermakna ‘orang yang sudah lulus dari perguruan tinggi’.
Pergeseran bahasa menyangkut masalah mobilitas penutur, di mana sebagai akibat dari perpindahan penutur atau para penutur itu dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa, seperti yang tadinya menggunakan bahasa ibu kemudian menjadi tidak menggunakan lagi. Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain.
Pemertahanan bahasa lebih menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya. Misalnnya, dalam masyarakat Loloan selain ada B1 (bahasa Melayu Loloan) dan B2 lama (bahasa Bali), ada B2 lain (bahasa Indonesia). kedudukan dan status bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bahasa nasional bahasa persatuan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada bahasa Bali menurut pandangan masyarakat Loloan.