Sabtu, 06 April 2013

ALIH KODE, CAMPUR KODE, INTERFERENSI, DAN INTEGRASI


A.    ALIH KODE
Appel (1976) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Berbeda dengan Appel, Hymes (1875) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa. Contohnya pergantian bahasa dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai, dan situasi formal menjadi tidak formal inilah yang disebut dengan alih kode. Pengalihan kode itu dilakukan dengan sadar dan bersebab. Penyebab terjadinya alih kode menurut Fishman (1976) yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu adalah (1) pembicaraan atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.
Di samping lima hal tersebut yang lazim dikemukakan sebagai faktor terjadinya alih kode, Widjajakusumah (1981) melaporkan hasil penelitiannya mengenai sebab-sebab terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, dan sebaliknya dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda di kota Bandung. Yang dimaksud dengan penutur Sunda oleh Widjajakusumah adalah penutur yang berbahasa ibu bahasa Sunda, lalu disamping itu biasanya pula menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya. Verbal repertoir penutur Sunda ini adalah pertama, bahasa Sunda ragam halus dan ragam kasarnya; kedua, bahasa Indonesia dengan ragam baku dan ragam nonbakunya; dan ketiga adalah bahasa Indonesia Jawa Barat, yakni bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan. Setiap bahasa dan ragam-ragamnya itu mempunyai fungsi pemakaian tertentu. Menurut Widjajakusumah terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia adalah karena (1) kehadiran orang ketiga, (2) perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis, (3) beralihnya suasana bicara, (4) ingin dianggap terpelajar, (5) ingin menjauhkan jarak, (6) menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda, (7) mengutip pembicaraan orang lain, (8) terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia, (9) mitra bicaranya lebih mudah, (10) berada ditempat umum, (11) menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda, dan (11) beralih media/sara bicara. Sedangkan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Sunda merupakan kebalikan dari penyebab alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia. Dalam masyarakat tutur tertentu, terutama yang mengenal tingkatan sosial bahasa, ada alih kode yang terjadi tidak secara drastis, melainkan berjenjang menurut satu kontinum, sedikit demi sedikit, dari yang dekat sampai yang jauh perbedaanya, sehingga alih kode itu tidak terasa ”mengagetkan”.
Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.

B.     CAMPUR KODE
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Kesamaan yang ada dalam alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Thelander (1976: 103) mengatakan bahwa di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Namun apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode. Fasold (1984) mengatakan bahwa apabila seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Namun apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menutur struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Dari kedua pendapat di atas tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa campur kode itu dapat berupa pencampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi di dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain. Tewaran Fasold (1984) yang sejalan dengan pendapat Thelander (1976) tampaknya memang merupakan jalan terbaik sampai saat ini untuk membicarakan peristiwa alih kode dan campur kode.

C.    INTERFERENSI
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Kemampuan setiap penutur terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi. Ada yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, ada pula yang tidak. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan sama baiknya antara B1 dan B2 oleh Ervin dan Osgood (1965:139) dalam Chaer (2004:121) disebut berkemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan yang berkemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan B1-nya disebut berkemampuan bahasa majemuk. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya interferensi atau “pengacauan” (Nababan, 1984). Hartman dan Stork (1972:115) tidak menyebutnya “pengacauan” melainkan “kekeliruan” yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Interferensi dalam bidang sintaksis, kita ambil contoh kalimat dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Jawa - Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Bunyi kalimat itu “Di sini toko Laris yang mahal sendiri” (diangkat dari Djoko Kentjono 1982). Kalimat bahasa Indonesia itu berstruktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya adalah “Ning kene toko Laris sing larang dhewe”. Kata sendiri dalam kalimat bahasa Jawa itu merupakan terjemahan dari kata dhewe. Kata dhewe dalam bahasa Jawa, antara lain, memang berarti ‘sendiri’, seperti terdapat pada kalimat “Aku dhewe sing teko” (Saya sendiri yang datang). Tetapi kata dhewe yang terdapat di antara kata sing dan adjektif adalah berarti ‘paling’, seperti sing dhuwur dhewe ‘yang paling tinggi’, dan sing larang dhewe ‘yang paling mahal’. Dengan demikian dalam bahasa Indonesia baku kalimat tersebut di atas seharusnya berbunyi “Toko Laris adalah toko yang paling mahal di sini”.
Menurut Soewito (1983:59) interferensi dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Nusantara berlaku bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa-bahasa daerah. Tetapi dengan bahasa asing, bahasa Indonesia hanya menjadi penerima dan tidak pernah menjadi pemberi.

Campur Kode


Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Kesamaan yang ada dalam alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Thelander (1976: 103) mengatakan bahwa di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan sari suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Namun apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode.
Fasold (1984) mengatakan bahwa apabila seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Namun apabila satu klausa jelas-jelas memiliki sturktur gramatika asatu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menutur struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Dari kedua pendapat di atas tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa campur kode itu dapat berupa pencampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi di dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain. Tewaran Fasold (1984) yang sejalan dengan pendapat Thelander (1976) tampaknya memang merupakan jalan terbaik sampai saat ini untuk membicarakan peristiwa alih kode dan campur kode. 

Profil Sosiolinguistik di Indonesia


            Indonesia adalah negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dengan berbagai bahasa daerah, serta berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Keadaan kebahasaan di Indonesia kini ditandai dengan adanya sebuah bahasa nasional yang sekaligus juga menjadi bahasa negara, adanya ratusan bahasa daerah, dan adanya sejumlah bahasa asing, yang digunakan atau diajarkan di dalam pendidikan formal. Masalah umum yang berkenaan dengan status sosial dan politik ketiga bahasa itu, masalah penggunaannya, masalah saling pengaruh di antara ketiganya, masalah pembinaan, pengembangan, dan pengajarannya.
Terkait dengan bahasa Indonesia berasal dari Pijin yang dilontarkan oleh R.A Hall, tampaknya pernyataan tersebut kurang benar. Ada beberapa bukti yang menyanggah yang dilontarkan oleh Kridalaksana terkait dengan bahasa Indonesia berasal dari Pijin.
Masalah pendidikan dan pengajaran bahasa sebagai salah satu topik dalam sosiolinguistik dan sebagai salah satu sarana untuk pembakuan dan pembinaan bahasa. Dalam pendidikan formal, pendidikan bahasa Indonesia mempunyai dua muka, pertama bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan dan kedua, sebagai mata pelajaran bahasa Indonesia termasuk mata pelajaran yang penting. Oleh karena itu, ada ketentuan dalam pendidikan formal di tingkat dasar dan di tingkat menengah bahwa mata pelajaran bahasa indonesia tidak boleh bernilai kurang untuk lulus atau naik kelas.
Secara nasional kedudukan bahasa Indonesia adalah pada tingkat pertama, bahasa daerah adalah pada tingkat kedua, dan bahasa asing pada tingkat ketiga. Namun apabila dilihat dari segi emosional, keakraban, dan perolehan bahasa bisa saja kedudukan ketiga bahasa tersebut dapat berubah. Oleh karena itu, ada hubungan yang saling menentukan dalam menguasai dan mampu berbahasa antara penguasaan kaidah, kemampuan menggunakan logika dengan benar, dan frekuensi berlatih menggunakan bahasa. 

Pendidikan dan Pengajaran Bahasa


Sejak dulu pendidikan sudah dilakukan orang yang digunakan untuk mewariskan nilai-nilai budaya dari segi generasi tua kepada generasi berikutnya. Karena bahasa adalah juga bagian dari kebudayaan, meskipun juga untuk menyampaikan segi-segi kebudayaan lainnya, maka pewarisan kemampuan berbahasa dan sikap positif terhadap bahasa dapat pula dilakukan melalui jalur pendidikan itu.
Dalam pembelajaran bahasa melalui pendidikan ada variabel yang ada di dalamnya yiatu murid, guru, bahan  pelajaran, dan tujuan pengajaran. Keempat variabel tersebut mempunyai hubungan fungsional dalam kegiatan belajar mengajar dan turut menentukan keberhasilan belajar. Di samping keempat variabel tersebut masih ada variabel lain yang turut menentukan keberhasilan belajar, yaitu lingkungan keluarga dan masyarakat tempat siswa tinggal dan lingkungan sekolah tampat murid belajar. Dalam masyarakat yang multilingual, multirasial, dan multikultural, maka faktor kebahasaan, kebudayaan, sosial, dan etnis juga merupakan variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengajaran bahasa. Dengan demikian dalam proses belajar mengajar bahasa ada sejumlah variabel, baik yang bersifat linguistik maupun yang bersifat nonlinguistik, yang dapat menentukan keberhasilan belajar mengajar.
Selain variabel-variabel di atas ada faktor lain yang juga menentukan keberhasilan belajar bahasa, yaitu yang disebut asas-asas belajar, yang dapat dikelompokkan menjadi asas-asas yang bersifat psikologis anak didik, dan yang bersifat materi linguistik. Asas-asas yang bersifat psikologis itu antara lain, motivasi, pengalaman diri, keingintahuan, berfikir analisis-sintesis, dan perbedaan individual. Di samping asas-asas yang berkaitan dengan anak dan psikologi seperti dibicarakan di atas, ada pula asas-asas dalam belajar yang berkenaan dengan materi dan metodik. Asas-asas ini perlu diperhatikan agar dapat dicapai hasil yang maksimal dalam proses belajar mengajar itu. Adapun asas-asas itu adalah mudah menuju susah, sederhana menuju kompleks pengetahuan, dekat menuju jauh, pola menuju unsur, penggunaan menuju pengetahuan, masalah buka kebiasaan, dan kenyataan bukan buatan.
Tujuan pendidikan nasional di Indonesia pada dasarnya membentuk manusia Pancasilais. Jika nilai-nilai yang ada pada Pancasila tlah tertenam dalam setiap jiwa, maka manusia akan memunyai perilaku yang sesuai asas-asas Pancasila dalam segala tindakan manusia tersebut, termasuk dalam berbahasa Indonesia, dan memiliki sikap posotif terhadap bahasa. Tujuan pendidikan nasional ini berlaku secara nasional dan diharapkan dapat diikitsertakan pemberiannya dalam semua jenjang pendidikan, dan semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran bahasa Indonesia.
Dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua. Bahkan kedua ini bisa bahasa nasional. pengajaran bahasa kedua tentunya akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik. Masalah-masalah itu ada yang ringan dan ada yang berat.
Konsep umum yang bisa ditangkap dari sekian banyak pertemuan, bahwa pragmatik adalah ketrampilan menggunakan bahasa menurut partisipan, topik pembicaraan, tujuan pembicaraan, situasi dan tempat berlangsungnya pembicaraan itu.

Bahasa dan Kebudayaan


Kebudayaan merupakan segala hal yang manyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku di masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan, dan tradisi yang biasa dilakukan, dan termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat komunikasi nonverbal lainnya.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan sangat erat dan saling mempengaruhi. Dalam hubungan bahasa dan kebudayaan ada yang bersifat koordinatif dan subordinatif. Bersifat koordinatif karena mempunyai kedudukannya sama tingginya. Sedangkan bersifat suborniatif karena kedudukan bahasa di bawah kedudukan kebudayaan. Silzer (1990) mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebalinknya.
Adanya hubungan tindak berbahasa dengan sikap mental para penuturnya ada dibicarakan oleh Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (1990) buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental sebagian besar orang Indonesia. sifat-sifat negatif itu adalah suka meremehkan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggan bertanggungjawab, dan suka latah atau ikut-ikutan.
Masinambaow (1984) mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa. Etika berbahasa ini erat dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam sautu masyarakat.

Perencanaan Bahasa


Pada setiap negara multilingual, multirasial, dan multikultural, dalam menjamin kelangsungan komunikasi kebangsaan perlu dilakukan suatu perencanaan bahasa yang tentunya dimulai dengan kebijaksanaan bahasa. Multilingual adalah adanya dan digunakannya banyak bahasa dengan berbagai ragamnya di dalam wilayah negara itu secara berdampingan. Multirasial adalah terdapat etnis yang berbeda, yang biasanya dapat dikenali dari ciri-ciri fisik tertentu atau dari bahasa dan budaya yang melekat pada etnis tersebut. Multikultural adalah terdapatnya berbagai budaya, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda dari penduduk yang mendiami negara tersebut. Seperti negara Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan India. Kebijaksanaan Bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasa dan bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut agar komunikasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Selain memberi keputusan mengenai status, kedudukan dan fungsi bahasa, kebijaksanaan bahasa harus pula memberi pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa itu yang biasa disebut korpus bahasa.
Keperluan suatu bangsa atau negara untuk memiliki sebuah bahasa yang menjadi identitas nasionalnya dan satu bahasa, atau lebih, yang menjadi bahasa resmi kenegaraan tidak selalu bisa dipenuhi oleh bahasa atau bahasa-bahasa asli pribumi yang dimiliki. Indonesia dapata memenuhi kebutuhan itu dari bahasa asli pribumi; Filipina dapat memnuhi sebagian; sedangkan Somalia tidak sama sekali. Berkenaan dengan itu, dalam perencanaan bahasa dikenal adanya negara tipe endoglasik, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Belgia, dan  Republik Rakyat Cina. Tipe eksoglasik-endoglasik, seperti Filipina, India, Singapura, Tanzania, dan Ethiopia. Tipe eksoglasik, seperti Somalia, Haiti, Senegal, Liberia, Mautirenia, Sudan, Papua Nugini, Nigeria, Ghana, dan Republik Rakyat Kongo.
Perencanaan bahasa merupakan kegiatan yang harus dilakukan setelah melakukan kebijaksanaan bahasa. Atau dengan kata lain, perencanaan bahasa itu disusun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan bahasa. Istilah perencanaan bahasa (language planning) mengandung banyak istilah, seperti yang dikemukakan oleh Haugen (1959) bahwa istilah perncanaan bahasa merupakan usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Jamud dan Das Gupta (1971) mengatakan perencanaan bahasa kegiatan politis dan administratif untuk menyelesaikan persoalan bahasa di dalam masyarakat. Ray (1961, yang dikutip Moeliono 1983) berpendapat bahwa perencanaan bahasa terbatas pada saran atau rekomendasi yang aktif untuk mengatasi masalah pemakaian bahasa dengan cara yang paling baik. Pakar lain, Neustupny (1970) dan Gorman (1973), serta Galvin (1973) membedakan adanya dua macam perencanaan bahasa, yaitu (1) pemilihan bahasa untuk maksud dan tujuan tertentu seperti utnuk bahasa kebangsaan dan bahasa resmi, dan (2) pengembangan bahasa yang terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf keberaksaraan, dan juga usaha pembakuan bahasa.
Berhasil atau tidaknya usaha perencanaan bahasa ini adalah masalah evaluasi. Evaluasi terhadap bahasa sukar untuk dilakukan, sebab masalah-masalah dalam pembakuan bahasa termasuk masalah yang kompleks, sukar dirumuskan, sukar dipecahkan, dan tidak mengenal aturan berhenti. 

Perubahan, Pergeseran, dan Pemertahanan Bahasa


Perubahan bahasa menyangkut soal bahasaa sebagai kode, di mana sesuai dengan sifatnya yang dinamis, sebagai akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu bisa berubah. Terjadinya perubahan bahasa tidak dapat diamati. Namun, yang dapat diketahui adalah bukti adanya perubahan bahasa itu. Ini pun terbatas pada bahasa-bahasa yang mempunyai tradisi tulis, dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa yang sudah lama berlalu. Perubahan bahasa lazim diartikan sebagai adanya perubahan kaidah, entah itu direvisi, kaidahnya menghilang, atau munculnya kaidah baru. Dan semua itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon.
Sebagai bukti dari perubahan bahasa secara fonologi yaitu yang tadinya ada menjadi tidak ada, misal: adanya fonem /f/, /x/, dan /s/ yang dulu belum ada di khazanah bahasa Indonesia, tetapi sekarang sudah ada. Perubahan morfologi terjadi pada pembentukan kata, seperti yang dikemukakan oleh para ahli bahasa tradisional yang tidak mau menerima alomorf menge- dan penge- karena menyalahi kaidah dan dianggap merusak bahasa. Namun, kini kedua alomorf itu diakui sebagai dua alomorf bahasa Indonesia untuk morfem me- dan pe- . Misal, menurut kaidah sintaksis yang berlaku sebuah kalimat aktif transitif harus selalu mempunyai objek atau dengan rumusan lain, setiap kata kerja aktif transitif harus selalu diikuti oleh objek. Namun dewasa ini kalimat transitif banyak yang tidak dilengkapi objek. Perubahan kosakata dapat berarti bertambahnya kosakata baru, hilangnya kosakata lama, dan berubahnya makna kata.
Perubahan semantik berupa perubahan pada makna butir-butir leksikal yang mungkin berubah total, meluas, atau juga menyempit. Perubahan yang bersifat total maksudnya kalau dulu kata bermakna A kini menjadi bermakna B, misal kata “bead” artinya, dulu ‘doa, sembahyang’, kini ‘tasbih, butir-butir tasbih’. Perubahan makna meluas maksudnya dulu kata tersebut hanya memiliki satu makna, tetapi kini memiliki lebih dari satu makna. Misal, kata “holiday”, dulu artinya ‘hari suci’, kini bertambah dengan makna ‘hari libur’. Perubahan makna yang menyempit, artinya, kalau pada mulanya kata itu memiliki makna luas, tetapi kini lebih sempit maknanya. Misalnya kata sarjana dalam bahasa Indonesia bermakna ‘orang cerdik pandai’, tapi kini bermakna ‘orang yang sudah lulus dari perguruan tinggi’.
Pergeseran bahasa menyangkut masalah mobilitas penutur, di mana sebagai akibat dari perpindahan penutur atau para penutur itu dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa, seperti yang tadinya menggunakan bahasa ibu kemudian menjadi tidak menggunakan lagi. Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain.
Pemertahanan bahasa lebih menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya. Misalnnya, dalam masyarakat Loloan selain ada B1 (bahasa Melayu Loloan) dan B2 lama (bahasa Bali), ada B2 lain (bahasa Indonesia). kedudukan dan status bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bahasa nasional bahasa persatuan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada bahasa Bali menurut pandangan masyarakat Loloan.

Bahasa dan Jenis Kelamin


Menurut penelitian ada sejumlah masyarakat tutur pria berbeda dengan tutur wanita. Dalam penelitian-penelitian linguistik kadang-kadang wanita tidak dipakai sebagai informan karena alasan-alasan tertentu. Wanita cenderung mempunyai sikap “hiperkorek” sehingga dianggap mengaburkan situasi yang sebenarnya yang dikehendaki oleh para peneliti. Karena posisi seperti itu, wanita berusaha keras dengan segala cara untuk “meningkatkan” dirinya sederajat dengan laki-laki dan salah satu cara yang paling efektif ialah dengan mamakai bahasa ragam baku sebaik-baiknya.s
Perbedaan pria dengan wanita kemungkinan tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal lain yang membarengi tutur. Hal-hal itu antara lain gerak badan (gesture) dan ekspresi wajah. Dalam hal intonasi, pada wanita intonasinya lebih “memanjang” pada bagian akhir kalimat. Dalam bahasa Indonesia kita kenal istilah “suara manja” yang khas pada wanita.
Keseragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial yang erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Pada ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik dan kelompok sosial, sekurang-kurangnya sebagian, adalah akibat dari jarak sosial, sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin tadi adalah akibat dari perbedaan sosial.
Banyak bukti bahwa nilai sosial dan peranan jenis kelamin dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan tertentu. Kita ketahui, penutur yang banyak memperhatikan tuturnya secara linguistik akan cenderung untuk menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status prestise tersembunyi.
Berdasarkan penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia, secara umum dapat dikatakan sikap kebahasaan wanita cenderung mendua. Artinya, ada semacam kontroversi atau pertentangan sikap. Di satu pihak, berdasarkan analisis dan segi usia, pekerjaan, maupun pendidikan, kaum wanita itu tidak begitu menganggap penting penguasaan bahasa.
Pada kelompok orang berjenis kelamin “khusus”, yaitu yang di Indonesia disebut waria (banci) dan “gay. Berdasarkan penelitian Dede Oetomo yang meneliti bahasa waria dan gay di Surabaya dan sekitarnya, bahasa mereka sebagai model bahasa “rahasia”. Karena tampak “kelainannya” karena adanya sejumlah kosakata yang khas yang berbeda dengan kosakata umum. Bahasa waria data ditinjau dari dua segi, yaitu (1) struktur pembentukan istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan, dan (2) penciptaan istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada.

Bahasa dan Usia


        Usia adalah salah satu rintangan sosial yang membedakan kelompok-kelompok manusia. Kelompok manusia ini akan memungkinkan timbulnya dialek sosial yang sedikit banyak memberi warna tersendiri pada kelompok itu. Dialek sosial yang berdasarkan usia keadaannya berbeda. Ragam tutur anak-anak yang dimiliki oleh seorang anak akan ditinggalkan jika usiannya menginjak dewasa. Ragam tutur remaja akan ditinggalkan pemiliknya jika mereka menjadi tua. Yang relatif tetap ragam orang dewasa.
        Pada awal perkembangannya bahasa anak-anak mempunyai ciri antara lain adanya penyusutan (reduksi). Penyusutan bentuk tutur pada anak-anak sebagian besar menyangkut fungtor. Kata-kata yang tetap bertahan dalam tutur mereka, adalah kata-kata tergolong kontentif atau kata penuh, yaitu kata yang mempunyai makna sendiri jika berdiri sendiri. Ragam tutur anak-anak itu bersifat sementara, artinya akan ditinggalkan kalau usia makin bertambah menjadi remaja. Pada orang dewasa penyusutan dilakukan karena alasan ekonomi dan kepraktisan seperti yang ada pada pengiriman telegram, ragam nonbaku, dan pijin.
        Pada tutur anak usia SD, paling tidak ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, mereka diajarkan bahasa yang sebenarnya merupakan bahasa ibu mereka sendiri. Kedua, mereka diajari bahasa lain yang berbeda dengan bahasa ibu. Sedangkan tutur pada usia remaja apabila diliihat dari segi perkembangan, merupakan masa kehidupan manusia yang paling menarik dan mengesankan. Masa remaja mempunyai ciri antara lain petualangan, pengelompokan (klik), “kenakalan”. Ciri ini tercermin pula pada bahasa mereka.   Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa “rahasia” yang hanya berlaku bagi kelompok mereka, atau kalau semua pemuda sudah tahu, bahasa ini tetap rahasia bagi kelompok anak-anak dan orang tua.

Bilingualisme dan Diglosia


Bilingualisme merupakan keadaan penggunaan bahasa secara bergantian dalam masyarakat. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Namun pada kenyataanya sangat jarang orang yang mampu menguasai kedua bahasa itu sama baiknya. Kalaupun ada barangkali akan jarang sekali. Seorang bilingual yang menggunakan kedua bahasa harus memperhatikan masalah pokok yang ada dalam sosiolinguistik yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”.
Sejauh mana kedua bahasa dapat saling mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh bilingual selalu dikaitkan dengan tingkat kefasihannya dalam berbahasa. Namun pada kenyataanya sering kali dijumpai agar terlihat fasih di depan orang lain, seseorang tersebut menyelipkan kosakata bahasa lain untuk suatu kebutuhan, karena sikap bahasa, atau karena ingin bergengsi. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas bahkan meliputi satu negara.
Diglosia oleh Ferguson (1958) diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa (terutama fungsi T dan R). Diglosia yang dijelaskan oleh ferguson tersebut mengetengahkan sembilan topik yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, stadardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi. Berbeda dengan ferguson, Fishman (1972) menyatakan bahwa diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan ragam R pada bahasa yang sama, melainkan juga berlaku pada bahasa yang sama sekali tidak berlainan. Jadi yang menjadi tekanan Fishman adalah adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan. Pakar sosiolog lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebut broad diglosia yakni perbedaan tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam bahasa atau dua dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dialek itu. Sehingga muncullah diglosia ganda dalam bentuk double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
Ada empat jenis hubungan bilingualisme dan diglosia, yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam/bahasa T dan ragam/bahasa R. Kedua ragam bahasa itu digunakan menurut fungsinya masing-masing, (2) bilingualisme tanpa diglosia, sejumlah individu yang bilingual dapat mnggunakan bahasa yang mana pun untuk situasi dan tujuan apapun, (3) diglosia tanpa bilingualisme, masyarakat yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai masyarakat tutur, sebab kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi, dan (4) tidak diglosia dan tidak bilingualisme, masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan.

Bahasa dan Media


Media selalu ada dalam kehidupan kita dan telah diterima sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Terbentuknya pengetahuan kita tentang dunia dipengaruhi oleh lembaga pers dan penyiaran. Media massa adalah salah satu cara yang paling banyak kita gunakan untuk mengakses informasi tentang dunia sekitar kita, dan sekaligus merupakan sumber dari sebagian besar kegiatan hiburan kita. Oleh karena itu media adalah tempat yang sangat berpotensi untuk memroduksi dan menyebarluaskan makna sosial, atau dengan kata lain, media berperan besar dalam menentukan makna dari kejadian-kejadian yang terjadi di dunia untuk budaya, masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Bahasa yang digunakan oleh media untuk mewakili kelompok sosial tertentu dan untuk memaparkan kejadian-kejadian yang dianggap pantas untuk dimuat atau ditayangkan akan cenderung untuk digunakan dalam masyarakat sebagai cara untuk membicarakan kelompok atau kejadian itu.
Satu hal yang penting untuk ditelaah adalah media bisa memengaruhi cara menyajikan berita dan kerangka yang digunakan untuk menampilkan orang-orang yang berbicara di dalam media. Namun kita harus lebih seksama ketika menyebut kalangan media sebagai “mereka”, karena  berita dalam koran misalnya harus melewati beberapa tahapan sebelum dimuat dan di dalam tiap-tiap tahapan ini ada banyak orang yang terlibat. Hal yang sama juga berlaku bagi berita televisi. Karenanya media sebaiknya tidak dipandang sebagai sekelompok individu yang mengendalikan atau memanipulasi apa yang akan kita baca dan tonton.
Satu dari aspek yang paling menarik dan paling penting dari potensi kekuasaan media memberitakan orang dan kejadian. Dari penggunaan bahasa dalam bercerita yang biasa disebut dengan representasi bahasa yang membahas tentang struktur lingustik yang bisa memengaruhi bagaimana cara melaporkan/merepresentasikan kejadian yang bisa menimbulkan berbagai versi dan pandangan yang berbeda dari satu kejadian yang sama. Sebuah kecenderungan tertentu dalam merepresentasikan orang, situasi, dan kejadian dengan cara-cara yang mudah ditebak dan selalu sama akan membuat pilihan-pilihan linguistik yang digunakan dalam representasi itu menjadi mapan dalam sebuah budaya, yaitu membicarakan atau menulis tentang orang atau kejadian.

Bahasa dan Politik


Politik adalah masalah kekuasaan, yaitu kekuasaan untuk membuat keputusan, mengendalikan sumber daya, mengendalikan perilaku orang lain dan sering juga mengendalikan nilai-nilai yang dianut orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa menghindar dari masalah politik, bahkan ketika manusia membuat keputusan untuk hal-hal yang lumrah dan biasa seperti berbelanja untuk keperluan sehari-hari. Masalah politik adalah jauh lebih luas daripada sekedar politik pemerintahan saja, dan bahasa politik digunakan secara terus-menerus di sekeliling kita.
Penggalangan kekuasaan dan penegakan terhadap keyakinan-keyakinan politik bisa dilakukan dengan cara mencari kekuasaan melalui kekerasan dan membujuk orang untuk patuh secara sukarela. Persepsi orang terhadap masalah-masalah atau konsep tertentu bisa dipengaruhi oleh bahasa. Salah satu tujuan yang hendak dicapai politisi adalah membujuk pada pendengar/warga masyarakat untuk percaya pada validitas dari klaim-klaim si politisi. Salah satu cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menggunakan implikatur. Implikatur adalah cara di mana pendengar bisa memahami sendiri asumsi-asumsi di balik  sebuah informasi tanpa harus mengungkapkan asumsi-asumsi itu secara eksplisit. Selain digunakan untuk mempengaruhi cara berfikir orang, bahasa juga bisa digunakan untuk mengendalikan pikiran orang. Hal ini terdapat pada apa yang telah dicontohkan novel 1984 oleh George Orwell dan PC (political correctness).
Retorika politik sering digunakan oleh politisi untuk bisa memperkuat dampak yang ditimbulkan oleh ucapan atau tulisan mereka. Dalam retorika terdapat gaya bahasa yang memliki fungsi yaitu untuk membuat ide-ide abstrak menjadi mudah diterima dan memiliki kekuatan ideologis yang besar karena sering kali menghubungkan apa yang disampaikan penutur dengan pengalaman sehari-hari. Si politisi juga sering menggunakan pronomina secara retoris untuk menyebutkan pembicara, menyebut haluan politik dan menyebut pendengar yang berguna untuk mengedepankan atau menyembunyikan agen (orang atau partai yang melakukan tindakan tertentu) dan pertanggungjawaban atas tindakan itu. 

Bahasa dan Kelas Sosial


Kelas sosial sering mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Meskipun kasta dianggap kelas sosial, tetapi ada perbedaan di antara keduanya. Kelas sosial lebih cenderung bersifat terbuka dalam artian memungkinkan seseorang untuk berpindah dari kelas satu ke kelas yang lain. Lain halnya dengan kasta yang bersifat tertutup karena seseorang dari golongan tertentu tidak boleh masuk ke dalam golongan yang lain. Dalam diri seorang individu memungkinkannya untuk mempunyai status sosial lebih dari satu. Hal ini disebabkan dalam kelas sosial masih bisa dikelompokkan  lagi ke dalam golongan yang lebih khusus.
Perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat manusia tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu. Sebagai contohnya dalam ragam dialek regional dapat dibedakan secara cukup jelas dengan dialek regional yang lain. William labov (1966) dalam hubungan dengan kelas sosial ini membuktikan bahwa seseorang individu tertentu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu, sejumlah kira-kira sekian kali atau sekian persen dan dalam suatu situasi tertentu.
Selanjutnya Basil Bernstein mengemukakan bahwa ada dua ragam bahasa penutur, (1) kode terperinci yang cenderung digunakan dalam situasi formal dan (2) kode terbatas yang cenderung digunakan dalam situasi non-formal. Pandangan ini dimaksudkan bahwa perbedaan bahasa dapat menimbulkan perbedaan daya kognisi (hasil belajar). Ini sejajar dengan apa yang disebut “hipotesis Spir-Whorf”. Dalam hipotesis Sapir-Whorf menyatakan bahwa pandangan manusia tentang lingkungannya dapat ditentukan oleh bahasanya. Tetapi pernyataan ini tidaklah dianggap benar seutuhnya. Ini dapat dibuktikan oleh beberapa sanggahan, di antaranya yaitu (1) lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya, (2) lingkungan sosial dapat dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata, (3) adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta menimbulkan pula pengaruh dalam bahasa, dan (4) lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat (sosial value) dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu.

Bahasa dan Etnik


Etnik mengacu pada kelompok yang keanggotaannya berdasarkan asal-usul keturunan. Seringkali bahasa digunakan sebagai ciri etnik. Bahasa dikatakan sebagai alat identitas etnik bahkan yang lebih khusus lagi bahasa daerah adalah alat identitas suku. Tetapi tanggapan seperti ini tidaklah benar adanya. Hal ini dikarenakan seorang individu apabila berada dalam lingkungan etnik lain ternyata juga bisa menggunakan bahasa etnik lain tersebut dengan baik dan bahkan hampir tidak bisa dibedakan apakah dia berasal dari etnik lain atau etnik dari tempat di mana dia tinggal sekarang. Oleh karena itu tidak selalu ada hubungan antara ras dengan bahasa. Tetapi dalam kenyataan sosial banyak hal bahasa merupakan faktor penting/ciri esensial dari keanggotaan etnik.
Dalam sebuah masyarakat terdapat istilah masyarakat multilingual yakni masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk. Masalah yang timbul bagi individu dan kelompok ialah mereka harus menguasai sekurang-kurangnya dua bahasa yakni bahasanya sendiri dan bahasa mayoritas. Tetapi masalah ini dapat diatasi apabila mereka mempunyai motivasi yang kuat. Motivasi itu berbentuk motivasi instrumental dan motivasi integrasi.
Masalah keanekabahasaan bagi pemerintah memang rumit. Antara “memelihara” dan mengembangkan bahasa-bahasa minoritas menimbulkan konsekuensi keuangan, dan kadang-kadang tidak tertanggungkan oleh negara yang bersangkutan. Apalagi jika bahasa minoritas selalu saja mengandung resiko terlibatnya politik. Karena bahasa sering dijadikan sebagai alat politik atau alat gerakan politik, baik politik untuk mematikan etnik ataupun politik untuk mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu sebelum terlambat, pemerintah sering membuat langkah-langkah tertentu untuk melakukan “penaklukan bahasa”.
Perbedaan lafal dalam suatu bahasa disebabkan oleh pengaruh ragam subtratum yaitu bahasa atau ragam bahasa yang dipakai oleh kolompok-kelompok itu atau nenek moyang mereka sebelum mereka itu menjadi penutur suatu bahasa. Perbedaan lafal yang diakibatkan oleh subtratum sering kali menimbulkan pandangan yang bersifat inferioritas. Inferioritas ini menjadi salah apabila di dalam diri setiap penutur bahasa mengerti apabila perbedaan di antara dialek-dialek sosial secara tidak langsung menunjukkan keunggulan kebahasaan suatu ragam bahasa atas ragam bahasa. Secara linguistik tidak ada bahasa atau ragam bahasa yang lebih tinggi atau lebih rendah dari bahasa lain. 

Arti Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan Menurut Para Ahli:
1.      H.M Arifin (1977) mengartikan pertumbuhan sebagai suatu penambahan dalam ukuran, berat atau ukuran demensif tubuh serta bagian-bagiannya.
2.      C.P Chaplin (2002) mengartikan pertumbuhan sebagai: satu pertambahan atau kenaikan dalam ukuran dari bagian-bagian tubuh atau dari organisme sebagai suatu keseluruhan.
3.      A.E Sinolungan (1997), pertumbuhan menunjuk pada perubahan kuantitatif yaitu yang dapat dihitung atau diukur, seperti panjang atau berat tubuh.
Perkembangan Menurut Para Ahli:
1.      Reni Akbar Hawadi (2001), perkembangan secara luas menunjuk pada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang baru.
2.      F.J Monks, dkk., (2001), pengertian perkembangan menunjuk pada “suatu proses ke arah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali.” Perkembangn dapat juga diartikan sebagai “porses yang kekal dan tetap menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan pertumbuhan, pemasakan, dan belajar.” 
3.      Crow dan Crow (1962), berpendapat bahwa “perkembangan” bersangkutan dengan baik pertumbuhan maupun potensi-potensi (kemampuan-kemampuan bawaan) terhadap rangsangan lingkugan
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa pertumbuhan merupakan proses yang terjadi pada kemajuan fisik atau pertumbuhan tubuh dalam diri individu dengan cara meningkatnya ukuran dan struktur sampai pada titik puncak dan kemudian menurun menuju pada keruntuhan. Sedangkan arti dari perkembangan adalah proses yang terjadi sebagai akibat dari serangkaian perubahan yang berlangsung secara terus-menerus dalam diri individu dan cenderung menunjuk pada kemajuan mental dan perkembangan rohani.
Dari kesimpulan tersebut juga dapat dicari perbedaan secara umum antara pertumbuhan dengan perkembangan.
1.      Pertumbuhan
Lebih condong pemakaiannya bagi perubahan fisik individu. Dari aspek-aspek fisik yang mengalami pertumbuhan, misalnya; fisik itu sendiri atau jasmaninya, kelenjar-kelenjar seks, otak, dan lain-lain.
2.      Perkembangan
Lebih condong berkenaan dengan perubahan psikis yang tidak pernah lepas dari pengaruh lingkungan. Dari aspek-aspek psikis yang mengalami perkembangan, misalnya: perilaku seksual, sikap, perasaan/emosi, minat, cita-cita, pribadi, sosial, moral, dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mappiare, Andi. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional 

MELESTARIKAN BUDAYA MENULIS KARYA SASTRA


ABSTRACT
Write a literary work can become a culture. purpose of this study was to determine (1) the causes of declining interest in high school students to write poetry, (2) efforts to increase the interest of high school students to write poetry. Data collected by interview and observation method to high school students in Malang and Tulungagung with descriptive and qualitative techniques. The results are (1) declining interest in high school students as a result of the of globalization, students write poetry for fun without making it a more productive hobby, not yet aware of the nature of literary works, students are more interested in the concrete than the abstract (2) efforts to increase student interest in literary writing can be done by the need for attention from the government, teachers no longer menganaktirikan literary skills, especially writing skills of a literary, more creative use of the potential of school students in the writing of literature.

Keywords: Conserve, culture, writing, literature, high school students.

Setiap bangsa pasti memiliki kebudayaan. Budaya merupakan suatu hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan budaya suatu kelompok masyarakat mampu menonjolkan kreativitasnya, serta mampu menjadikan budaya sebagai identitas diri bangsa secara turun temurun. Dengan budaya suatu kelompok masyarakat mampu mengetahui serta mempelajari budaya mereka sendiri sekaligus membandingkan budayanya dengan budaya kelompok masyarakat yang lain. Wujud kebudayaan di Indonesia yang beraneka ragam membuat Indonesia kaya akan budaya, akan tetapi budaya yang tampak secara nyata hanya terfokus pada seni tari, pakaian, rumah adat, lagu, musik daerah, alat musik, gambar, dan patung.
Kebudayaan di Indonesia saat ini cenderung mulai luntur akibat pengaruh budaya luar, bukan hanya kebudayaan saja tetapi juga dalam bidang pendidikan dan teknologi. Budaya yang mencakup bidang tertentu tanpa ada suatu pembaharuan dalam kebudayaan akan terasa hambar. Mengapa tidak ada yang berpikir bahwa suatu karya sastra bisa menjadi budaya? Hal inilah yang akan menjadi inovasi terhadap kebudayaan siswa SMA saat ini.
Karya sastra merupakan suatu hasil kreativitas yang diciptakan oleh pengarang untuk mengekspresikan jiwa, emosi, dan perasaannya. Ketika seseorang merasa dalam keadaan labil terkadang ia akan mengungkapkannya lewat sebuah karya sastra, baik itu berupa puisi, cerpen, novel, dan sebagainya. Bentuk karya sastra ada dua macam, yakni karya sastra yang berbentuk prosa dan nonprosa. Baik dalam bentuk prosa maupun nonprosa, melalui keindahan kata dan pilihan kata yang imajinatif dan puitis membuat karya sastra menjadi suatu hasil karya yang memiliki value (nilai) tersendiri bagi pembacanya. Banyak karya-karya sastra yang telah memotivasi pembacanya, memberikan gambaran atau kritik kepada suatu keadaan yang tidak seimbang sekaligus mempengaruhi pembacanya tertarik untuk ikut berkarya. Akan tetapi, minat siswa khususnya siswa SMA pada sastra yang sekarang cenderung mengalami stagnasi atau kemacetan. Hal ini membuat karya sastra terkadang hanya dipandang sebelah mata. Padahal dengan karya sastra akan lebih kreatif dalam mengolah kata-kata, mengeksplorasi bahasa, dan menjadikan bahasa sebagai acuan utama masyarakat untuk maju. Bahasa yang notabene adalah bagian dari kebudayaan, karena bahasa juga digunakan untuk menyampaikan pesan kebudayaan pada bangsa lain.
Hakikat menulis itu sendiri adalah menulis itu kerja kreatif. Menulis itu menciptakan atau membangun sebuah dunia. Menulis dibagi dalam dua bagian, yaitu creative writing (menulis kreatif) dan academic writing (menulis akademis). Creative writing (menulis kreatif) melibatkan emosi dan hati nurani di dalamnya, di mana penulis sebagai 'penguasa' bagi suatu kehidupan yang diciptakannya, meliputi novel, cerpen, puisi, repertoire. Creative writing termasuk dalam fiksi atau fiction yang mengandung pengertian data atau fakta tidak penting, data bisa dijadikan titik pijak tetapi tidak mutlak, logikanya khas dunia fiksi dan argumentasi khas fiksi atau berdasarkan imajinasi. Sedangkan academic writing (menulis akademis) meliputi kolom, tajuk rencana atau editorial, opini atau pendapat, feature, petunjuk praktis atau tips, investigative reportingindepth reportingdeep reporting. Academic writing termasuk dalam non-fiksi atau fact yang mengandung pengertian data tak boleh palsu atau karangan, logika harus runtut, argumentasi menjadi keniscayaan, cenderung dalam kesepakatan dan pemahaman bersama.
Definisi dari menulis sendiri biasanya cenderung berbeda dari sudut pandang pelakunya, seperti pada pelajar yang mendefinisikan kegiatan menulis adalah merupakan suatu kegiatan menyalin ilmu pengetahuan yang mereka dengar atau baca dalam proses belajar mengajar. Sedangkan untuk mahasiswa sendiri kegiatan menulis adalah kegiatan menyusun laporan praktikum atau paper yang menumpuk setiap waktu dan bagi mahasiswa tingkat akhir pengertian menulis berkembang lagi menjadi kegiatan yang paling inti, yaitu menyusun skripsi atau tugas akhir. Bagi sastrawan menulis adalah kegiatan merangkai kata berisi diksi-diksi dan metafora yang indah sehingga menghasilkan sebuah karya sastra yang indah dan hikmah.
Dewasa ini minat siswa SMA cenderung menurun terhadap kegiatan menulis karya sastra, untuk itu perlu ditingkatkan agar mereka mampu untuk melestarikan menulis karya sastra tidak hanya sekadar menjadi hobi akan tetapi juga diharapkan mampu menjadi budaya yang inovatif. Siswa SMA sekarang ini lebih banyak memandang karya sastra hanya sebelah mata, jangankan menulis sebuah karya sastra, membacanya saja mereka tidak terlalu berminat. Jika bukan orang-orang yang memang sebenarnya dari awal mempunyai ketertarikan khusus terhadap karya sastra pastilah karya sastra itu dipandang tidak bernilai, padahal melalui sebuah karya sastra dapat banyak orang mampu menemukan ide-ide baru, informasi yang baru bahkan nilai-nilai yang sering dikesampingkan oleh masyarakat dapat diungkap dan dijadikan teladan atau pesan bagi individu masing-masing.
Melalui keadaan yang demikian perlu adanya suatu upaya ataupun pembaharuan agar masyarakat mampu lebih meningkatkan minatnya terhadap menulis karya sastra yang variatif tidak terkesan monoton karena bergenre tertentu saja, seperti novel atau cerpen-cerpen yang ditulis hanya monoton berjenis kisah percintaan remaja. Sebagai bangsa yang mempunyai sejarah sastrawan yang terkenal Indonesia harus mampu melestarikan menulis karya sastra sebagai budaya yang inovatif agar siswa SMA tidak lagi memandang sebelah mata terhadap sebuah karya sastra. Dalam artikel ini dibahas mengenai penyebab menurunnya minat siswa pada bidang menulis sastra, serta upaya meningkatkan minat siswa SMA pada bidang menulis sastra.

METODE PENELITIAN
Pengumpulan data dilakukan selama tiga hari di Kota Malang dan Tulungagung, khususnya di sekolah-sekolah SMA. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini dilakukan kegiatan mendeskripsikan hasil pengamatan dan wawancara. Karenanya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data hari pertama yang dilakukan adalah wawancara untuk menghasilkan tentang pendapat siswa SMA mengenai penyebab menyusutnya minat siswa SMA dalam menulis karya sastra serta bagaimana cara meningkatkan minat siswa SMA untuk menulis sebuah karya sastra. Pada hari kedua dilakukan wawancara mengenai upaya melestarikan budaya menulis karya sastra di kalangan siswa SMA. Pada hari ketiga dilakukan penyebaran angket pada beberapa sekolah SMA dimana kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh data pendukung mengenai masalah yang diteliti. Sumber penelitian adalah beberapa siswa SMA dari sekolah-sekolah yang berbeda, yaitu SMA 5 Malang, MAN 1 Malang, dan beberapa SMA di Tulungagung seperti SMAN 1 Kedungwaru, SMAN 1 Gondang, dan SMAN 1 Kauman.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data hasil penelitian maka dapat diperoleh beberapa data tentang menurunnya minat siswa SMA terhadap karya sastra, yaitu (1) akibat dari arus globalisasi, (2) siswa menulis karya sastra hanya karena iseng tanpa menjadikannya suatu hobi yang lebih produktif, (3) belum tahu benar tentang hakikat karya sastra, (4) menurunnya minat siswa terhadap karya sastra yang lebih tertarik pada hal yang konkrit daripada hal yang abstrak.
Upaya untuk meningkatkan minat siswa SMA terhadap karya sastra sebagai berikut (1) perlu adanya perhatian dari pemerintah, (2) guru tidak lagi menganaktirikan keahlian sastra terutama keterampilan menulis karya sastra, (3) sekolah lebih kreatif memanfaatkan potensi siswa dalam menulis karya sastra, (4) hasil karya sastra yang ditulis oleh siswa hendaknya ditampung dalam media yang menunjang, (5) kesadaran dari diri siswa sendiri, (6) sekolah mengadakan Festival Bulan Bahasa sebagai ajang kreativitas dalam menulis karya sastra
PEMBAHASAN
Menurunnya Minat Siswa SMA pada Bidang Menulis Sastra
Ada beberapa penyebab menurunnya minat siswa pada bidang menulis sastra, di antaranya adalah arus globalisasi. Globalisasai merupakan era di mana terjadi banyak kemajuan dalam segala bidang. Kemajuan yang cukup pesat terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.  Dengan perkembangan IPTEK yang menjangkau hampir di seluruh negara di belahan bumi,  akan banyak sekali kebudayaan dari negara lain yang masuk ke dalam budaya negara Indonesia contoh kecilnya adalah budaya menulis. Terkait dengan budaya menulis akan lebih baik mengambil segi positif dari negara asing yang sudah lebih maju untuk bidang tulis-menulis. Sebenarnya apabila ditelusuri lebih jauh tentang sastrawan atau penulis karya sastra, Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak sastrawan, contohnya Chairil Anwar dan Taufiq Ismail. Mereka berdua adalah segelintir penulis karya sastra yang sangat terkenal di Indonesia. Karya-karya mereka juga banyak yang diakui bukan hanya di negeri sendiri tetapi juga di luar negeri.
Budaya menulis karya sastra untuk siswa SMA di Indonesia sekarang ini dirasa mulai menurun terutama akibat dari arus globalisasi yang sudah semakin gencar masuk ke dalam budaya negara ini. Dengan kecanggihan teknologi, siswa seolah sangat dimanjakan oleh kecanggihan yang ada. Bila siswa mau, mereka dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada untuk mencari referensi karya sastra pada zaman dahulu untuk menghasilkan karya sastra dengan bagus. Arus globalisasi dapat dimanfaatkan dengan baik oleh siswa yang mau memanfaatkannya dengan baik juga, tetapi kebanyakaan masyarakat Indonesia apabila diberi sarana dan prasarana yang semakin mudah semakin membuat mereka menjadi malas. Hal ini dapat dilihat pada keterampilan menulis karya sastra di sekolah, semakin menurunnya minat siswa untuk menulis karya sastra maka akan mengakibatkan budaya menulis sastra itu sendiri dapat luntur. Padahal siswa adalah calon pelajar pembawa perubahan di masa yang akan datang. Siswa adalah orang yang masih menimba ilmu di sekolah, apabila mereka tidak mempunyai keterampilan untuk menulis karya sastra, mau dibawa kemana negara yang dahulu terkenal dengan para sastrawannya. Jangan sampai arus globalisasi lebih banyak membawa dampak negatif untuk perkembangan karya sastra tetapi harus ditekan seminimal mungkin untuk dimanfaatkan dengan menghasilkan karya sastra yang lebih baik lagi terutama untuk kalangan pelajar SMA.
Di sisi lain siswa menulis karya sastra karena iseng tanpa menjadikannya suatu hobi yang lebih produktif. Sebagian dari siswa memang pernah menulis karya sastra, akan tetapi karya sastra yang mereka tulis kebanyakan hanya suatu keisengan untuk mengisi waktu luang atau ketika mereka dalam keadaan labil. Ketika itulah para siswa mulai menulis karya sastra hanya sebagai coretan buku belaka. Karya sastra yang banyak mereka pilih adalah puisi karena dianggap lebih singkat, tidak bertele-tele, dan tidak menghabiskan banyak waktu. Jarang ada siswa menulis karya sastra yang lain seperti novel, drama, atau cerpen. Untuk jenis karya-karya yang seperti itu mereka lebih senang membaca hasil karya orang lain seperti di majalah, teenliit, daripada menulisnya sendiri, terkecuali bagi siswa yang memang gemar menulis karya sastra. Siswa hanya membuat suatu karya sastra yang terkesan tidak serius dan hanya dianggap coretan tangan saja tanpa ingin mempergunakan kesempatan yang ada dengan lebih meningkatkan  kadar menulis mereka sebagai suatu hobi yang lebih produktif, karena sekarang juga tidak sedikit media yang menampung hasil karya sastra. Dengan begitu pula, para penikmat atau pembaca sastra bisa lebih tertarik untuk membaca karya sastra karena semakin banyak hasil karya sastra semakin bervariasi pula isi dan bentuk karya sastra sehingga pembaca tidak bosan dengan karya sastra yang jenisnya monoton.
Di samping itu, siswa belum tahu benar tentang hakikat karya sastra. Siswa SMA merupakan siswa yang mempunyai wawasan luas terutama yang menyangkut mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pernyataan ini tidak salah karena sejak duduk di bangku SD mereka sudah diberi mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terdapat dua keahlian yang harus dikuasai oleh siswa yaitu tentang Bahasa dan Sastra. Dua keahlian dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia tersebut haruslah seimbang dalam penerapan pengajarannya. Hal ini dimaksudkan agar tidak hanya memberatkan pada salah satu keahlian bahasa saja, tetapi pada kenyataannya terutama untuk keahlian di bidang sastra masih banyak guru Bahasa Indonesia yang menganaktirikannya. Guru Bahasa Indonesia lebih mendominasikan keahlian bidang kebahasaan saja daripada bidang sastra. Hasilnya, pada penelitian dengan menggunakan metode wawancara secara langsung terhadap tiga orang siswa SMA berbeda yang berada di daerah Tulungagung, yaitu SMAN 1 Gondang, SMAN 1 Kedungwaru, dan SMAN 1 Kauman. Ketika ditanya tentang hakikat karya sastra, satu dari siswa yang telah diwawancarai yaitu dari SMAN 1 Kedungwaru menjawabnya dengan jawaban tidak tahu pengertian karya sastra, tetapi hanya tahu bentuk karya sastra seperti novel, puisi, dan cerpen. Sedangkan siswa yang sekolah di SMAN 1 Gondang ketika diwawancarai tentang apa itu karya sastra menjawabnya dengan sangat santai bahwa karya sastra hanyalah sebuah tulisan. Padahal tulisan tidak dapat disebut sebagai karya sastra jika tidak terdapat unsur-unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya serta unsur estetik yang wajib ada di dalamnya. Jadi tidak asal tulisan bisa disebut sebagai karya sastra. Ini membuktikan bahwa tingkat pengetahuan siswa terhadap karya sastra masih sangat kurang bahkan ada siswa dari sekolah SMAN 1 Kauman tidak tahu sama sekali apa itu karya sastra. Hal ini membuktikan bahwa pada kenyataanya pengetahuan bidang sastra yang ada pada pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang diterima sejak duduk di bangku SD sampai dengan SMA sangat bertolak belakang dengan lamanya siswa dalam memperoleh pendidikan. Ternyata semakin lama seorang siswa memperoleh pelajaran maka pelajaran tersebut akan semakin tidak didalami.
Wawasan siswa tentang karya sastra yang masih sedikit, bahkan untuk mendefinisikan karya sastra saja siswa masih kesulitan. Apabila pengetahuan dasar tentang karya sastra saja masih sangat sedikit apalagi untuk menuliskan sebuah karya sastra. Kebanyakan siswa masih memandang sebelah mata terhadap karya sastra dan untuk perkembangan karya sastra pun dapat terancam yang pada akhirnya akan luntur. Budaya menulis karya sastra harus selalu dipertahankan eksistensinya terutama kepada siswa SMA yang seharusnya sudah lebih paham tentang karya sastra.
Siswa lebih tertarik pada hal yang konkrit daripada hal yang abstrak juga merupakan faktor menurunnya minat siswa untuk menulis karya sastra. Sastra merupakan suatu hal yang harus dipelajari bagi siswa khususnya ketika mereka beranjak dewasa. Pada kesempatan inilah penulis mengamati minat siswa SMA terhadap karya sastra. Pada umumnya, siswa SMA yang telah diteliti memang tidak begitu tertarik dengan karya sastra ataupun mempelajarinya. Namun, di sini dengan melakukan observasi khusus terhadap kalangan siswa SMA jurusan Bahasa, telah diperoleh data bahwa sebenarnya siswa tertarik pada karya sastra karena mereka menganggapnya lebih mudah daripada pelajaran lainnya yaitu seperti mengapresiasi puisi atau juga cerpen, tetapi untuk menghasilkan karya sastra minat mereka cenderung pasif. Mereka lebih memilih hal-hal yang bersifat konkrit atau jelas daripada memilih hal-hal yang abstrak.
Dari 20 siswa, hanya 9 siswa yang berminat sedangkan 11 siswa yang lainnya tidak terlalu berminat terhadap karya sastra. Ini membuktikan bahwa minat siswa terhadap karya sastra saat ini menurun. Hal ini dikarenakan mayoritas mereka lebih memilih hal yang konkrit daripada memilih hal yang abstrak. Adapun faktor-faktor menurunnya siswa SMA yang berminat terhadap karya satra adalah sebagai berikut (1) mereka lebih suka membaca daripada menulis, (2) mereka lebih suka melihat hasil keseluruhan secara langsung daripada menikmati karya sastra, dan (3) mereka lebih suka melihat pertunjukan sastra daripada mengapresiasi karya sastra. Alasan-alasan tersebut adalah beberapa pernyataan yang memang mereka lontarkan dan sebagian besar mereka cenderung lebih memilih hal-hal yang bersifat mudah.
Meningkatkan Minat Siswa SMA pada Bidang Menulis Sastra
Pada dasarnya, siswa mempunyai minat terhadap karya sastra apabila ditunjang dengan fasilitas dan lingkungan yang mendukung. Namun, hingga sekarang apa yang diharapkan belum terlaksana dengan baik sehingga hal ini membuat mereka tidak terlalu minat terhadap karya sastra. Hal seperti ini sangat disayangkan karena sebagai generasi penerus seharusnya dapat melakukan yang terbaik untuk memajukan karya sastra di Indonesia. 
         Meningkatkan minat siswa untuk menulis karya sastra perlu adanya perhatian dari pemerintah. Dengan melihat masih banyak siswa SMA yang kurang maksimal dalam kemampuan menulis karya sastra, sepertinya akan menjadi sebuah ancaman terhadap perkembangan karya sastra untuk ke depannya. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan karya sastra sendiri juga dapat menjadi salah satu penyebabnya. Seharusnya budaya menulis karya sastra di lingkungan lembaga pendidikan lebih dikembangkan lagi sejak dini mulai dari tingkat Sekolah Dasar. Hal ini dapat dilakukan dengan membiasakan siswa untuk menulis karya sastra sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada saat siswa berpindah jenjang pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, siswa sudah terbiasa untuk menulis karya sastra.
Selain itu, guru tidak lagi menganaktirikan keahlian sastra terutama ketrampilan menulis karya sastra. Perhatian lain juga tertuju pada tenaga pendidik yaitu guru. Guru, terutama sebagai guru Bahasa Indonesia seharusnya tidak menganaktirikan keahlian di bidang sastra pada saat menyampaikan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Guru dituntut untuk lebih kompeten tidak hanya ahli bidang kebahasaan saja tetapi juga ahli di bidang sastra. Kemampuan guru untuk bidang sastra sendiri dirasa masih sangat kurang karena pada kenyataanya saat pelajaran Bahasa Indonesia, guru bahasa seolah enggan untuk memberikan materi tentang sastra secara mendalam kepada siswa. Guru masih memberikan materi tentang sastra secara garis besar saja. Kenyataannya, meskipun sebagai guru Bahasa Indonesia, keahlian mereka di bidang sastra masih sangat kurang. Bagaimana jadinya apabila guru Bahasa Indonesia yang mengajarkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kurang mampu untuk menguasai keahlian di bidang sastra. Ini akan berdampak negatif kepada siswa, terutama untuk keterampilan menulis karya sastra.
Kebanyakan guru Bahasa Indonesia meskipun sudah menyampaikan teori tentang karya sastra, tetapi tidak diimbangi dengan keterampilan menulis karya sastra. Hal ini akan menjadi berbeda apabila guru menyeimbangkan antara teori dan praktek dalam menulis karya sastra pada saat pelajaran Bahasa Indonesia. Siswa tidak hanya paham hakikat dari karya sastra tetapi juga memiliki keterampilan menuliskan karya sastra. Pada intinya siswa tidak hanya mengingat-ingat teori tentang karya sastra tetapi juga dapat menulis karya sastra. Tampaknya untuk menjadi seorang guru Bahasa Indonesia haruslah terampil dan lebih kreatif dalam memberikan materi yang berkaitan dengan menulis karya sastra agar siswa tidak memandang sebelah mata terhadap mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi juga untuk perkembangan sastra itu sendiri.
         Di samping itu, sekolah lebih kreatif memanfaatkan potensi siswa dalam menulis karya sastra. Tidak akan adil jika hanya menyalahkan guru dalam menurunnya minat siswa SMA dalam menulis karya sastra. Pihak sekolah pun juga ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan sastra terutama untuk meningkatkan keterampilan menulis karya sastra oleh siswanya. Apabila sekolah lebih kreatif lagi untuk memanfaat potensi siswa dalam hal menulis karya sastra maka perkembangan keterampilan menulis karya sastra siswa dapat terasah dengan baik. Hal ini dapat dilakukan oleh pihak sekolah dengan cara (1) memberikan buku pelajaran yang berkaitan tentang karya sastra, dengan buku-buku tersebut siswa akan lebih termotivasi untuk mempelajari karya sastra dan tak mustahil untuk menulis karya sastra, baik dalam bentuk puisi, cerpen, novel maupun karya sastra lain seperti pantun, (2) penyediaan tempat seperti mading khusus karya sastra siswa juga dapat memotivasi siswa untuk menulis karya sastra agar karya yang mereka hasilkan dapat dipajang di mading tersebut, sehingga tidak akan sia-sia siswa yang mempunyai keterampilan dalam menulis karya sastra karena hasil dari kreatifitasnya dapat terpajang dan terbaca oleh siswa lainnya, (3) sekolah lebih sering mengadakan perlombaan menulis karya sastra. Selain untuk memotivasi siswa untuk menulis karya sastra juga dapat mengatahui seberapa minat siswa kepada sastra. Pemenangnya dapat dilatih lagi dalam menulis karya sastra untuk mengikuti perlombaan di tingkat antar sekolah satu kota, satu propinsi, dan tingkat nasional, (4) sekolah mengadakan seminar atau workshop tentang menulis karya sastra. Dengan demikian siswa akan tertarik untuk mengikuti terutama bagi siswa yang memang berminat di sastra, bagi siswa yang kurang berminat menjadi berminat sekaligus dapat belajar untuk menulis karya sastra. Sebagai pengisi acara dalam seminar atau workshop, sekolah dapat mengundang seorang sastrawan lokal atau nasional untuk memberikan motivasi dan ilmunya tentang karya sastra dan mengajarkan menulis karya sastra.
Upaya melestarikan karya sastra juga dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan hasil tulisan karya sastra dan menampungnya ke dalam suatu wadah yang memang dikhususkan untuk hasil karya sastra itu sendiri. Tidak hanya satu jenis wadah seperti majalah dan penerbit buku saja, tetapi media seperti majalah baik majalah anak-anak sampai majalah orang dewasa juga menampung hasil tulisan karya-karya sastra seperti cerpen, novel dan puisi. Jika dirasa siswa kurang mampu dalam menulis sebuah cerpen atau novel, maka ia bisa menulis puisi yang tidak memakan banyak waktu, bentuknya ringkas dan padat. Karena, jika suatu hasil tulisan karya sastra hanya dibiarkan begitu saja tanpa di tampung dan di lestarikan dengan baik maka karya sastra itu sendiri akan mati dan lekang tergeser oleh era globalisasi pada zaman sekarang ini.
Selain itu, kesadaran dari diri siswa sendiri juga berperan dalam meningkatkan minat siswa. Siswa SMA merupakan remaja yang masih dalam keadaan labil. Kebanyakan pada umur-umur remaja pola pikir siswa SMA masih mementingkan kebutuhan individu daripada kelompok. Mereka masih dalam masa transisi dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Begitu pun dengan pola pikir dan tingkah laku yang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari. Seorang siswa SMA cenderung ingin terlihat eksis dengan menunjukkan keahlian baik fisik mapun psikis yang dimilikinya. Sebagai seorang manusia pasti ada jiwa seni yang terpendam di dalam dirinya yang selalu ingin ditunjukkan kepada orang lain. Inilah yang sepatutnya disadari oleh masing-masing siswa SMA bahwa mereka juga memiliki jiwa seni. Karya sastra merupakan bagian dari seni yang bisa dikembangkan di dalam diri setiap siswa SMA. Selain faktor pendukung dari guru yang harus bisa peka terhadap perkembangan keahlian yang dimilki oleh masing-masing siswa. Dari siswanya pun juga harus sadar bahwa mereka mempunyai potensi itu. Pada kenyataannya siswa sering membuat karya sastra, hanya saja mereka tidak sadar akan hal itu. Sebagai contohnya pada saat jatuh cinta, mereka cenderung mengekspresikan jiwa seninya dengan sebuah puisi kepada sang pujaan hati melalui pesan singkat berupa SMS. Inilah salah satu potensi seni dalam diri siswa yang patut untuk dikembangkan. Tetapi siswa cenderung tidak percaya diri untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan yang lebih nyata.
Apabila siswa mau untuk menuliskan karya sastra ke dalam tulisan baik itu puisi, cerpen, ataupun prosa maka potensi yang dimiliki dalam bidang sastra dapat terbaca oleh orang lain. Biarkan orang lain yang menilai apakah karya sastra itu baik atau kurang baik yang terpenting di sini dalam diri siswa sudah sadar bahwa mereka juga mempunyai jiwa seni yang patut untuk dikembangkan.
Upaya berikutnya adalah sekolah disarankan untuk mengadakan Festival Bulan Bahasa sebagai ajang kreativitas dalam menulis karya sastra. Dalam melestarikan karya sastra terlebih untuk para siswa SMA, tidak lain adalah dukungan dari lingkungan sekolah. Di mana lingkungan sekolah juga mempunyai peran penting dalam mendidik siswanya untuk terampil menghasilkan karya sastra. Hal ini sangat penting karena dengan adanya fasilitas dan media dari sekolah yaitu sebagai wadah atau tempat untuk menghasilkan karya sastra.
Media tersebut tidak lain dapat diadakan Festival Bulan Bahasa. Di mana dalam festival tersebut bertujuan untuk sebagai ajang kreativitas dalam menulis karya sastra. Dengan diadakan festival tesebut dengan sendiriya siswa akan termotivasi. Festival yang seperti itu mempunyai peran andil dalam melstarikan karya sastra karena bukan hanya menyalurkan kreativitas siswa tetapi juga memberi dampak positif bagi siwa untuk menghasilkan karya sastra dan terlebih untuk perkembangan karya sastra pada umumnya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian mengenai kegiatan melestarikan budaya menulis karya sastra dapat disimpulkan bahwa kegiatan menulis di kalangan siswa sekarang ini menurun, terutama dibidang karya sastra. Hal ini disebabkan karena minat siswa terhadap kegiatan menulis semakin kurang. Berkurangnya minat siswa karena arus globalisasi, siswa menulis karya sastra karena iseng tanpa menjadikannya suatu hobi yang lebih produktif, belum tahu benar tentang hakikat karya sastra, dan siswa yang lebih tertarik pada hal yang konkrit daripada hal yang abstrak.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat siswa SMA terhadap karya sastra di antaranya perlu adanya perhatian dari pemerintah, guru tidak lagi menganaktirikan keahlian sastra terutama keterampilan menulis karya sastra,  sekolah lebih kreatif memanfaatkan potensi siswa dalam menulis karya sastra, hasil karya sastra yang ditulis oleh siswa hendaknya ditampung dalam media yang menunjang,  kesadaran dari diri siswa sendiri, dan sekolah mengadakan Festival Bulan Bahasa sebagai ajang kreativitas dalam menulis karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Ahira, Anne. 2008. Hakikat menulis, (http://wajirannet.blogspot.com/2008/07/hakikat-menulis.html), diakses15 Februari 2011
Suparno. 2006. Keterampilan Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka