ABSTRACT
Write a literary
work can become a culture. purpose of
this study was
to determine (1) the
causes of declining interest in
high school students to write poetry, (2) efforts
to increase the interest of high school students to write poetry. Data collected
by interview and
observation method to high school students in Malang and Tulungagung with
descriptive and qualitative
techniques. The results are (1) declining
interest in high school students as a result of the
of globalization, students write poetry for
fun without making
it a more productive
hobby, not yet aware
of the nature of literary works, students are more interested
in the concrete
than the abstract
(2) efforts to increase
student interest in literary writing can be
done by the need for attention from the government,
teachers no longer
menganaktirikan literary skills, especially writing skills of a literary, more
creative use of the
potential of school students
in the writing of
literature.
Keywords: Conserve, culture, writing,
literature, high school students.
Setiap bangsa pasti memiliki kebudayaan.
Budaya merupakan suatu hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan
budaya suatu kelompok masyarakat mampu menonjolkan kreativitasnya, serta mampu
menjadikan budaya sebagai identitas diri bangsa secara turun temurun. Dengan
budaya suatu kelompok masyarakat mampu mengetahui serta mempelajari budaya
mereka sendiri sekaligus membandingkan budayanya dengan budaya kelompok
masyarakat yang lain. Wujud kebudayaan di Indonesia yang beraneka ragam membuat
Indonesia kaya akan budaya, akan tetapi budaya yang tampak secara nyata hanya
terfokus pada seni tari, pakaian, rumah adat, lagu, musik daerah, alat musik,
gambar, dan patung.
Kebudayaan di Indonesia saat ini
cenderung mulai luntur akibat pengaruh budaya luar, bukan hanya kebudayaan saja
tetapi juga dalam bidang pendidikan dan teknologi. Budaya yang mencakup bidang tertentu
tanpa ada suatu pembaharuan dalam kebudayaan akan terasa hambar. Mengapa tidak
ada yang berpikir bahwa suatu karya sastra bisa menjadi budaya? Hal inilah yang
akan menjadi inovasi terhadap kebudayaan siswa SMA saat ini.
Karya sastra merupakan suatu hasil
kreativitas yang diciptakan oleh pengarang untuk mengekspresikan jiwa, emosi,
dan perasaannya. Ketika seseorang merasa dalam keadaan labil terkadang ia akan
mengungkapkannya lewat sebuah karya sastra, baik itu berupa puisi, cerpen,
novel, dan sebagainya. Bentuk karya sastra ada dua macam, yakni karya sastra
yang berbentuk prosa dan nonprosa. Baik dalam bentuk prosa maupun nonprosa,
melalui keindahan kata dan pilihan kata yang imajinatif dan puitis membuat karya
sastra menjadi suatu hasil karya yang memiliki value (nilai) tersendiri bagi pembacanya. Banyak karya-karya sastra
yang telah memotivasi pembacanya, memberikan gambaran atau kritik kepada suatu
keadaan yang tidak seimbang sekaligus mempengaruhi pembacanya tertarik untuk
ikut berkarya. Akan tetapi, minat siswa khususnya siswa SMA pada sastra yang
sekarang cenderung mengalami stagnasi atau kemacetan. Hal ini membuat karya
sastra terkadang hanya dipandang sebelah mata. Padahal dengan karya sastra akan
lebih kreatif dalam mengolah kata-kata, mengeksplorasi bahasa, dan menjadikan
bahasa sebagai acuan utama masyarakat untuk maju. Bahasa yang notabene adalah bagian
dari kebudayaan, karena bahasa juga digunakan untuk menyampaikan pesan
kebudayaan pada bangsa lain.
Hakikat menulis itu sendiri adalah menulis itu kerja kreatif. Menulis
itu menciptakan atau membangun sebuah dunia. Menulis dibagi dalam dua bagian,
yaitu creative writing (menulis kreatif) dan academic writing (menulis
akademis). Creative writing (menulis kreatif) melibatkan emosi dan
hati nurani di dalamnya, di mana penulis sebagai 'penguasa' bagi suatu
kehidupan yang diciptakannya, meliputi novel, cerpen, puisi, repertoire. Creative
writing termasuk dalam fiksi atau fiction yang
mengandung pengertian data atau fakta tidak penting, data bisa dijadikan titik
pijak tetapi tidak mutlak, logikanya khas dunia fiksi dan argumentasi khas
fiksi atau berdasarkan imajinasi. Sedangkan academic writing (menulis
akademis) meliputi kolom, tajuk rencana atau editorial, opini atau
pendapat, feature, petunjuk praktis atau tips, investigative
reporting, indepth reporting, deep reporting. Academic
writing termasuk dalam non-fiksi atau fact yang
mengandung pengertian data tak boleh palsu atau karangan, logika harus runtut,
argumentasi menjadi keniscayaan, cenderung dalam kesepakatan dan pemahaman
bersama.
Definisi
dari menulis sendiri biasanya cenderung berbeda dari sudut pandang pelakunya,
seperti pada pelajar yang mendefinisikan kegiatan menulis adalah merupakan suatu kegiatan
menyalin ilmu
pengetahuan yang mereka dengar atau baca dalam proses belajar
mengajar. Sedangkan untuk mahasiswa sendiri kegiatan menulis adalah kegiatan
menyusun laporan praktikum atau paper yang menumpuk setiap waktu dan bagi
mahasiswa tingkat akhir pengertian menulis berkembang lagi menjadi kegiatan
yang paling inti, yaitu menyusun skripsi atau tugas akhir. Bagi sastrawan
menulis adalah kegiatan merangkai kata berisi diksi-diksi dan metafora yang
indah sehingga menghasilkan sebuah karya sastra yang indah dan hikmah.
Dewasa ini minat siswa SMA cenderung
menurun terhadap kegiatan menulis karya sastra, untuk itu perlu ditingkatkan agar
mereka mampu untuk melestarikan menulis karya sastra tidak hanya sekadar
menjadi hobi akan tetapi juga diharapkan mampu menjadi budaya yang inovatif.
Siswa SMA sekarang ini lebih banyak memandang karya sastra hanya sebelah mata,
jangankan menulis sebuah karya sastra, membacanya saja mereka tidak terlalu
berminat. Jika bukan orang-orang yang memang sebenarnya dari awal mempunyai
ketertarikan khusus terhadap karya sastra pastilah karya sastra itu dipandang
tidak bernilai, padahal melalui sebuah karya sastra dapat banyak orang mampu
menemukan ide-ide baru, informasi yang baru bahkan nilai-nilai yang sering
dikesampingkan oleh masyarakat dapat diungkap dan dijadikan teladan atau pesan
bagi individu masing-masing.
Melalui keadaan yang demikian perlu
adanya suatu upaya ataupun pembaharuan agar masyarakat mampu lebih meningkatkan
minatnya terhadap menulis karya sastra yang variatif tidak terkesan monoton
karena bergenre tertentu saja, seperti novel atau cerpen-cerpen yang ditulis
hanya monoton berjenis kisah percintaan remaja. Sebagai bangsa yang mempunyai sejarah
sastrawan yang terkenal Indonesia harus mampu melestarikan menulis karya sastra
sebagai budaya yang inovatif agar siswa SMA tidak lagi memandang sebelah mata
terhadap sebuah karya sastra. Dalam artikel ini dibahas mengenai penyebab menurunnya
minat siswa pada bidang menulis sastra, serta upaya meningkatkan minat siswa
SMA pada bidang menulis sastra.
METODE PENELITIAN
Pengumpulan data dilakukan selama tiga
hari di Kota Malang dan Tulungagung, khususnya di sekolah-sekolah SMA. Penelitian
ini dilakukan berdasarkan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini dilakukan
kegiatan mendeskripsikan hasil pengamatan dan wawancara. Karenanya, penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data hari pertama yang
dilakukan adalah wawancara untuk menghasilkan tentang pendapat siswa SMA
mengenai penyebab menyusutnya minat siswa SMA dalam menulis karya sastra serta
bagaimana cara meningkatkan minat siswa SMA untuk menulis sebuah karya sastra.
Pada hari kedua dilakukan wawancara mengenai upaya melestarikan budaya menulis
karya sastra di kalangan siswa SMA. Pada hari ketiga dilakukan penyebaran
angket pada beberapa sekolah SMA dimana kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh
data pendukung mengenai masalah yang diteliti. Sumber penelitian adalah
beberapa siswa SMA dari sekolah-sekolah yang berbeda, yaitu SMA 5 Malang, MAN 1
Malang, dan beberapa SMA di Tulungagung seperti SMAN 1 Kedungwaru, SMAN 1
Gondang, dan SMAN 1 Kauman.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data hasil
penelitian maka dapat diperoleh beberapa data tentang menurunnya minat siswa
SMA terhadap karya sastra, yaitu (1) akibat dari arus globalisasi, (2) siswa
menulis karya sastra hanya karena iseng tanpa menjadikannya suatu hobi yang
lebih produktif, (3) belum tahu benar tentang hakikat karya sastra, (4) menurunnya minat siswa terhadap karya sastra
yang lebih tertarik pada hal yang konkrit daripada hal yang abstrak.
Upaya
untuk meningkatkan minat siswa SMA terhadap karya sastra sebagai berikut (1) perlu
adanya perhatian dari pemerintah, (2) guru tidak lagi menganaktirikan keahlian
sastra terutama keterampilan menulis karya sastra, (3) sekolah lebih kreatif
memanfaatkan potensi siswa dalam menulis karya sastra, (4) hasil karya sastra
yang ditulis oleh siswa hendaknya ditampung dalam media yang menunjang, (5)
kesadaran dari diri siswa sendiri, (6) sekolah
mengadakan Festival Bulan Bahasa sebagai ajang kreativitas dalam menulis karya
sastra
PEMBAHASAN
Menurunnya
Minat Siswa SMA pada Bidang Menulis Sastra
Ada beberapa
penyebab menurunnya minat siswa pada bidang menulis sastra, di antaranya adalah
arus globalisasi. Globalisasai merupakan
era di mana terjadi banyak kemajuan dalam segala bidang. Kemajuan yang cukup
pesat terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
perkembangan IPTEK yang menjangkau hampir di seluruh negara di belahan bumi, akan banyak sekali kebudayaan dari negara lain
yang masuk ke dalam budaya negara Indonesia contoh kecilnya adalah budaya
menulis. Terkait dengan budaya menulis akan lebih baik mengambil segi positif
dari negara asing yang sudah lebih maju untuk bidang tulis-menulis. Sebenarnya apabila
ditelusuri lebih jauh tentang sastrawan atau penulis karya sastra, Indonesia
adalah negara yang mempunyai banyak sastrawan, contohnya Chairil Anwar dan
Taufiq Ismail. Mereka berdua adalah segelintir penulis karya sastra yang sangat
terkenal di Indonesia. Karya-karya mereka juga banyak yang diakui bukan hanya
di negeri sendiri tetapi juga di luar negeri.
Budaya menulis karya sastra untuk siswa SMA di Indonesia
sekarang ini dirasa mulai menurun terutama akibat dari arus globalisasi yang
sudah semakin gencar masuk ke dalam budaya negara ini. Dengan kecanggihan
teknologi, siswa seolah sangat dimanjakan oleh kecanggihan yang ada. Bila siswa
mau, mereka dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada untuk mencari referensi
karya sastra pada zaman dahulu untuk menghasilkan karya sastra dengan bagus. Arus
globalisasi dapat dimanfaatkan dengan baik oleh siswa yang mau memanfaatkannya
dengan baik juga, tetapi kebanyakaan masyarakat Indonesia apabila diberi sarana
dan prasarana yang semakin mudah semakin membuat mereka menjadi malas. Hal ini
dapat dilihat pada keterampilan menulis karya sastra di sekolah, semakin
menurunnya minat siswa untuk menulis karya sastra maka akan mengakibatkan
budaya menulis sastra itu sendiri dapat luntur. Padahal siswa adalah calon
pelajar pembawa perubahan di masa yang akan datang. Siswa adalah orang yang masih
menimba ilmu di sekolah, apabila mereka tidak mempunyai keterampilan untuk
menulis karya sastra, mau dibawa kemana negara yang dahulu terkenal dengan para
sastrawannya. Jangan sampai arus globalisasi lebih banyak membawa dampak
negatif untuk perkembangan karya sastra tetapi harus ditekan seminimal mungkin
untuk dimanfaatkan dengan menghasilkan karya sastra yang lebih baik lagi
terutama untuk kalangan pelajar SMA.
Di sisi lain siswa
menulis karya sastra karena iseng tanpa menjadikannya suatu hobi yang lebih
produktif. Sebagian dari siswa memang pernah menulis karya sastra, akan tetapi
karya sastra yang mereka tulis kebanyakan hanya suatu keisengan untuk mengisi
waktu luang atau ketika mereka dalam keadaan labil. Ketika itulah para siswa
mulai menulis karya sastra hanya sebagai coretan buku belaka. Karya sastra yang
banyak mereka pilih adalah puisi karena dianggap lebih singkat, tidak
bertele-tele, dan tidak menghabiskan banyak waktu. Jarang ada siswa menulis
karya sastra yang lain seperti novel, drama, atau cerpen. Untuk jenis
karya-karya yang seperti itu mereka lebih senang membaca hasil karya orang lain
seperti di majalah, teenliit, daripada menulisnya sendiri, terkecuali bagi
siswa yang memang gemar menulis karya sastra. Siswa hanya membuat suatu karya sastra
yang terkesan tidak serius dan hanya dianggap coretan tangan saja tanpa ingin
mempergunakan kesempatan yang ada dengan lebih meningkatkan kadar menulis mereka sebagai suatu hobi yang
lebih produktif, karena sekarang juga tidak sedikit media yang menampung hasil
karya sastra. Dengan begitu pula, para penikmat atau pembaca sastra bisa lebih
tertarik untuk membaca karya sastra karena semakin banyak hasil karya sastra
semakin bervariasi pula isi dan bentuk karya sastra sehingga pembaca tidak
bosan dengan karya sastra yang jenisnya monoton.
Di
samping itu, siswa belum tahu benar tentang hakikat karya sastra. Siswa SMA
merupakan siswa yang mempunyai wawasan luas terutama yang menyangkut mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Pernyataan ini tidak salah karena sejak duduk di bangku SD
mereka sudah diberi mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia terdapat dua keahlian yang harus dikuasai oleh siswa yaitu tentang
Bahasa dan Sastra. Dua keahlian dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia tersebut
haruslah seimbang dalam penerapan pengajarannya. Hal ini dimaksudkan agar tidak
hanya memberatkan pada salah satu keahlian bahasa saja, tetapi pada
kenyataannya terutama untuk keahlian di bidang sastra masih banyak guru Bahasa
Indonesia yang menganaktirikannya. Guru Bahasa Indonesia lebih mendominasikan
keahlian bidang kebahasaan saja daripada bidang sastra. Hasilnya, pada
penelitian dengan menggunakan metode wawancara secara langsung terhadap tiga orang
siswa SMA berbeda yang berada di daerah Tulungagung, yaitu SMAN 1 Gondang, SMAN
1 Kedungwaru, dan SMAN 1 Kauman. Ketika ditanya tentang hakikat karya sastra,
satu dari siswa yang telah diwawancarai yaitu dari SMAN 1 Kedungwaru
menjawabnya dengan jawaban tidak tahu pengertian karya sastra, tetapi hanya tahu
bentuk karya sastra seperti novel, puisi, dan cerpen. Sedangkan siswa yang
sekolah di SMAN 1 Gondang ketika diwawancarai tentang apa itu karya sastra
menjawabnya dengan sangat santai bahwa karya sastra hanyalah sebuah tulisan.
Padahal tulisan tidak dapat disebut sebagai karya sastra jika tidak terdapat
unsur-unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya serta unsur estetik yang wajib
ada di dalamnya. Jadi tidak asal tulisan bisa disebut sebagai karya sastra. Ini
membuktikan bahwa tingkat pengetahuan siswa terhadap karya sastra masih sangat
kurang bahkan ada siswa dari sekolah SMAN 1 Kauman tidak tahu sama sekali apa itu
karya sastra. Hal ini membuktikan bahwa pada kenyataanya pengetahuan bidang sastra
yang ada pada pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang diterima sejak duduk
di bangku SD sampai dengan SMA sangat bertolak belakang dengan lamanya siswa
dalam memperoleh pendidikan. Ternyata semakin lama seorang siswa memperoleh
pelajaran maka pelajaran tersebut akan semakin tidak didalami.
Wawasan
siswa tentang karya sastra yang masih sedikit, bahkan untuk mendefinisikan
karya sastra saja siswa masih kesulitan. Apabila pengetahuan dasar tentang
karya sastra saja masih sangat sedikit apalagi untuk menuliskan sebuah karya
sastra. Kebanyakan siswa masih memandang sebelah mata terhadap karya sastra dan
untuk perkembangan karya sastra pun dapat terancam yang pada akhirnya akan luntur.
Budaya menulis karya sastra harus selalu dipertahankan eksistensinya terutama
kepada siswa SMA yang seharusnya sudah lebih paham tentang karya sastra.
Siswa lebih tertarik pada hal yang konkrit daripada
hal yang abstrak juga merupakan faktor menurunnya minat siswa untuk menulis
karya sastra. Sastra merupakan suatu hal yang harus dipelajari
bagi siswa khususnya ketika mereka beranjak dewasa. Pada kesempatan inilah
penulis mengamati minat siswa SMA terhadap karya sastra. Pada umumnya, siswa
SMA yang telah diteliti memang tidak begitu tertarik dengan karya sastra
ataupun mempelajarinya. Namun, di sini dengan melakukan observasi khusus
terhadap kalangan siswa SMA jurusan Bahasa, telah diperoleh data bahwa
sebenarnya siswa tertarik pada karya sastra karena mereka menganggapnya lebih
mudah daripada pelajaran lainnya yaitu seperti mengapresiasi puisi atau juga
cerpen, tetapi untuk menghasilkan karya sastra minat mereka cenderung pasif.
Mereka lebih memilih hal-hal yang bersifat konkrit atau jelas daripada memilih
hal-hal yang abstrak.
Dari
20 siswa, hanya 9 siswa yang berminat sedangkan 11 siswa yang lainnya tidak
terlalu berminat terhadap karya sastra. Ini membuktikan bahwa minat siswa
terhadap karya sastra saat ini menurun. Hal ini dikarenakan mayoritas mereka
lebih memilih hal yang konkrit daripada memilih hal yang abstrak. Adapun
faktor-faktor menurunnya siswa SMA yang berminat terhadap karya satra adalah
sebagai berikut (1) mereka lebih suka membaca daripada menulis, (2) mereka
lebih suka melihat hasil keseluruhan secara langsung daripada menikmati karya
sastra, dan (3) mereka lebih suka melihat pertunjukan sastra daripada
mengapresiasi karya sastra. Alasan-alasan tersebut adalah beberapa pernyataan
yang memang mereka lontarkan dan sebagian besar mereka cenderung lebih memilih
hal-hal yang bersifat mudah.
Meningkatkan
Minat Siswa SMA pada Bidang Menulis Sastra
Pada
dasarnya, siswa mempunyai minat terhadap
karya sastra apabila ditunjang
dengan fasilitas dan lingkungan yang mendukung. Namun, hingga sekarang apa yang
diharapkan belum terlaksana dengan baik sehingga hal ini membuat mereka tidak
terlalu minat terhadap karya sastra. Hal seperti ini sangat disayangkan karena
sebagai generasi penerus seharusnya dapat melakukan yang terbaik untuk
memajukan karya sastra di Indonesia.
Meningkatkan minat siswa untuk menulis
karya sastra perlu adanya perhatian dari pemerintah. Dengan melihat masih
banyak siswa SMA yang kurang maksimal dalam kemampuan menulis karya sastra,
sepertinya akan menjadi sebuah ancaman terhadap perkembangan karya sastra untuk
ke depannya. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan karya sastra
sendiri juga dapat menjadi salah satu penyebabnya. Seharusnya budaya menulis
karya sastra di lingkungan lembaga pendidikan lebih dikembangkan lagi sejak dini
mulai dari tingkat Sekolah Dasar. Hal ini dapat dilakukan dengan membiasakan
siswa untuk menulis karya sastra sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada saat
siswa berpindah jenjang pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, siswa sudah
terbiasa untuk menulis karya sastra.
Selain
itu, guru tidak lagi menganaktirikan keahlian sastra terutama ketrampilan
menulis karya sastra. Perhatian lain juga tertuju pada tenaga pendidik yaitu
guru. Guru, terutama sebagai guru Bahasa Indonesia seharusnya tidak
menganaktirikan keahlian di bidang sastra pada saat menyampaikan pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia. Guru dituntut untuk lebih kompeten tidak hanya
ahli bidang kebahasaan saja tetapi juga ahli di bidang sastra. Kemampuan guru
untuk bidang sastra sendiri dirasa masih sangat kurang karena pada kenyataanya
saat pelajaran Bahasa Indonesia, guru bahasa seolah enggan untuk memberikan
materi tentang sastra secara mendalam kepada siswa. Guru masih memberikan
materi tentang sastra secara garis besar saja. Kenyataannya, meskipun sebagai
guru Bahasa Indonesia, keahlian mereka di bidang sastra masih sangat kurang.
Bagaimana jadinya apabila guru Bahasa Indonesia yang mengajarkan mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia kurang mampu untuk menguasai keahlian di bidang
sastra. Ini akan berdampak negatif kepada siswa, terutama untuk keterampilan
menulis karya sastra.
Kebanyakan
guru Bahasa Indonesia meskipun sudah menyampaikan teori tentang karya sastra,
tetapi tidak diimbangi dengan keterampilan menulis karya sastra. Hal ini akan
menjadi berbeda apabila guru menyeimbangkan antara teori dan praktek dalam
menulis karya sastra pada saat pelajaran Bahasa Indonesia. Siswa tidak hanya
paham hakikat dari karya sastra tetapi juga memiliki keterampilan menuliskan
karya sastra. Pada intinya siswa tidak hanya mengingat-ingat teori tentang
karya sastra tetapi juga dapat menulis karya sastra. Tampaknya untuk menjadi
seorang guru Bahasa Indonesia haruslah terampil dan lebih kreatif dalam
memberikan materi yang berkaitan dengan menulis karya sastra agar siswa tidak
memandang sebelah mata terhadap mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,
tetapi juga untuk perkembangan sastra itu sendiri.
Di samping itu, sekolah lebih kreatif
memanfaatkan potensi siswa dalam menulis karya sastra. Tidak akan adil jika
hanya menyalahkan guru dalam menurunnya minat siswa SMA dalam menulis karya
sastra. Pihak sekolah pun juga ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan
sastra terutama untuk meningkatkan keterampilan menulis karya sastra oleh siswanya.
Apabila sekolah lebih kreatif lagi untuk memanfaat potensi siswa dalam hal
menulis karya sastra maka perkembangan keterampilan menulis karya sastra siswa
dapat terasah dengan baik. Hal ini dapat dilakukan oleh pihak sekolah dengan
cara (1) memberikan buku pelajaran yang berkaitan tentang karya sastra, dengan
buku-buku tersebut siswa akan lebih termotivasi untuk mempelajari karya sastra
dan tak mustahil untuk menulis karya sastra, baik dalam bentuk puisi, cerpen,
novel maupun karya sastra lain seperti pantun, (2) penyediaan tempat seperti
mading khusus karya sastra siswa juga dapat memotivasi siswa untuk menulis
karya sastra agar karya yang mereka hasilkan dapat dipajang di mading tersebut,
sehingga tidak akan sia-sia siswa yang mempunyai keterampilan dalam menulis
karya sastra karena hasil dari kreatifitasnya dapat terpajang dan terbaca oleh
siswa lainnya, (3) sekolah lebih sering mengadakan perlombaan menulis karya
sastra. Selain untuk memotivasi siswa untuk menulis karya sastra juga dapat
mengatahui seberapa minat siswa kepada sastra. Pemenangnya dapat dilatih lagi
dalam menulis karya sastra untuk mengikuti perlombaan di tingkat antar sekolah
satu kota, satu propinsi, dan tingkat nasional, (4) sekolah mengadakan seminar
atau workshop tentang menulis karya sastra. Dengan demikian siswa akan tertarik
untuk mengikuti terutama bagi siswa yang memang berminat di sastra, bagi siswa
yang kurang berminat menjadi berminat sekaligus dapat belajar untuk menulis
karya sastra. Sebagai pengisi acara dalam seminar atau workshop, sekolah dapat
mengundang seorang sastrawan lokal atau nasional untuk memberikan motivasi dan
ilmunya tentang karya sastra dan mengajarkan menulis karya sastra.
Upaya
melestarikan karya sastra juga dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan
hasil tulisan karya sastra dan menampungnya ke dalam suatu wadah yang memang dikhususkan
untuk hasil karya sastra itu sendiri. Tidak hanya satu jenis wadah seperti
majalah dan penerbit buku saja, tetapi media seperti majalah baik majalah
anak-anak sampai majalah orang dewasa juga menampung hasil tulisan karya-karya
sastra seperti cerpen, novel dan puisi. Jika dirasa siswa kurang mampu dalam
menulis sebuah cerpen atau novel, maka ia bisa menulis puisi yang tidak memakan
banyak waktu, bentuknya ringkas dan padat. Karena, jika suatu hasil tulisan
karya sastra hanya dibiarkan begitu saja tanpa di tampung dan di lestarikan
dengan baik maka karya sastra itu sendiri akan mati dan lekang tergeser oleh
era globalisasi pada zaman sekarang ini.
Selain itu, kesadaran
dari diri siswa sendiri juga berperan dalam meningkatkan minat siswa. Siswa SMA
merupakan remaja yang masih dalam keadaan labil. Kebanyakan pada umur-umur remaja
pola pikir siswa SMA masih mementingkan kebutuhan individu daripada kelompok.
Mereka masih dalam masa transisi dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa.
Begitu pun dengan pola pikir dan tingkah laku yang mereka jalani dalam
kehidupan sehari-hari. Seorang siswa SMA cenderung ingin terlihat eksis dengan
menunjukkan keahlian baik fisik mapun psikis yang dimilikinya. Sebagai seorang
manusia pasti ada jiwa seni yang terpendam di dalam dirinya yang selalu ingin
ditunjukkan kepada orang lain. Inilah yang sepatutnya disadari oleh
masing-masing siswa SMA bahwa mereka juga memiliki jiwa seni. Karya sastra
merupakan bagian dari seni yang bisa dikembangkan di dalam diri setiap siswa
SMA. Selain faktor pendukung dari guru yang harus bisa peka terhadap
perkembangan keahlian yang dimilki oleh masing-masing siswa. Dari siswanya pun
juga harus sadar bahwa mereka mempunyai potensi itu. Pada kenyataannya siswa
sering membuat karya sastra, hanya saja mereka tidak sadar akan hal itu.
Sebagai contohnya pada saat jatuh cinta, mereka cenderung mengekspresikan jiwa
seninya dengan sebuah puisi kepada sang pujaan hati melalui pesan singkat berupa
SMS. Inilah salah satu potensi seni dalam diri siswa yang patut untuk
dikembangkan. Tetapi siswa cenderung tidak percaya diri untuk menuangkannya ke
dalam bentuk tulisan yang lebih nyata.
Apabila siswa
mau untuk menuliskan karya sastra ke dalam tulisan baik itu puisi, cerpen,
ataupun prosa maka potensi yang dimiliki dalam bidang sastra dapat terbaca oleh
orang lain. Biarkan orang lain yang menilai apakah karya sastra itu baik atau
kurang baik yang terpenting di sini dalam diri siswa sudah sadar bahwa mereka
juga mempunyai jiwa seni yang patut untuk dikembangkan.
Upaya berikutnya adalah sekolah disarankan
untuk mengadakan Festival Bulan Bahasa sebagai ajang kreativitas dalam menulis
karya sastra. Dalam
melestarikan karya sastra terlebih untuk para siswa SMA, tidak lain adalah
dukungan dari lingkungan sekolah. Di mana lingkungan sekolah juga mempunyai
peran penting dalam mendidik siswanya untuk terampil menghasilkan karya sastra.
Hal ini sangat penting karena dengan adanya fasilitas dan media dari sekolah
yaitu sebagai wadah atau tempat untuk menghasilkan karya sastra.
Media tersebut tidak lain dapat diadakan Festival Bulan
Bahasa. Di mana dalam festival tersebut bertujuan untuk sebagai ajang
kreativitas dalam menulis karya sastra. Dengan diadakan festival tesebut dengan
sendiriya siswa akan termotivasi. Festival yang seperti itu mempunyai peran
andil dalam melstarikan karya sastra karena bukan hanya menyalurkan kreativitas
siswa tetapi juga memberi dampak positif bagi siwa untuk menghasilkan karya
sastra dan terlebih untuk perkembangan karya sastra pada umumnya.
KESIMPULAN
Dari
hasil penelitian mengenai kegiatan melestarikan budaya menulis karya sastra
dapat disimpulkan bahwa kegiatan menulis di kalangan siswa sekarang ini
menurun, terutama dibidang karya sastra. Hal ini disebabkan karena minat siswa
terhadap kegiatan menulis semakin kurang. Berkurangnya minat siswa karena arus
globalisasi, siswa menulis karya sastra karena iseng tanpa menjadikannya suatu
hobi yang lebih produktif, belum tahu benar tentang hakikat karya sastra, dan
siswa yang lebih tertarik pada hal yang
konkrit daripada hal yang abstrak.
Upaya-upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat siswa SMA terhadap karya sastra
di antaranya perlu adanya perhatian dari pemerintah, guru tidak lagi
menganaktirikan keahlian sastra terutama keterampilan menulis karya
sastra, sekolah lebih kreatif
memanfaatkan potensi siswa dalam menulis karya sastra, hasil karya sastra yang
ditulis oleh siswa hendaknya ditampung dalam media yang menunjang, kesadaran dari diri siswa sendiri, dan sekolah mengadakan Festival Bulan Bahasa
sebagai ajang kreativitas dalam menulis karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Suparno.
2006. Keterampilan Menulis. Jakarta:
Universitas Terbuka