A. ALIH KODE
Appel (1976)
mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena
berubahnya situasi. Berbeda dengan Appel, Hymes (1875) menyatakan alih kode itu
bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam
atau gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa. Contohnya pergantian bahasa dari
bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi
ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai, dan situasi formal menjadi
tidak formal inilah yang disebut dengan alih kode. Pengalihan kode itu
dilakukan dengan sadar dan bersebab. Penyebab terjadinya alih kode menurut
Fishman (1976) yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan
dengan tujuan apa. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab
alih kode itu adalah (1) pembicaraan atau penutur, (2) pendengar atau lawan
tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari
formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.
Di samping lima hal
tersebut yang lazim dikemukakan sebagai faktor terjadinya alih kode, Widjajakusumah
(1981) melaporkan hasil penelitiannya mengenai sebab-sebab terjadinya alih kode
dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, dan sebaliknya dari bahasa Indonesia ke
bahasa Sunda di kota Bandung. Yang dimaksud dengan penutur Sunda oleh
Widjajakusumah adalah penutur yang berbahasa ibu bahasa Sunda, lalu disamping
itu biasanya pula menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya. Verbal
repertoir penutur Sunda ini adalah
pertama, bahasa Sunda ragam halus dan ragam kasarnya; kedua, bahasa Indonesia dengan ragam baku dan ragam nonbakunya; dan
ketiga adalah bahasa Indonesia Jawa
Barat, yakni bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan. Setiap bahasa dan
ragam-ragamnya itu mempunyai fungsi pemakaian tertentu. Menurut Widjajakusumah
terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia adalah karena (1) kehadiran
orang ketiga, (2) perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis, (3) beralihnya
suasana bicara, (4) ingin dianggap terpelajar, (5) ingin menjauhkan jarak, (6) menghindarkan
adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda, (7) mengutip pembicaraan
orang lain, (8) terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia, (9) mitra
bicaranya lebih mudah, (10) berada ditempat umum, (11) menunjukkan bahasa
pertamanya bukan bahasa Sunda, dan (11) beralih media/sara bicara. Sedangkan
alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Sunda merupakan kebalikan dari penyebab
alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia. Dalam masyarakat tutur
tertentu, terutama yang mengenal tingkatan sosial bahasa, ada alih kode yang
terjadi tidak secara drastis, melainkan berjenjang menurut satu kontinum,
sedikit demi sedikit, dari yang dekat sampai yang jauh perbedaanya, sehingga
alih kode itu tidak terasa ”mengagetkan”.
Soewito membedakan
adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang
dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa
sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya.
Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa
atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa
asing.
B. CAMPUR KODE
Pembicaraan mengenai
alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua
peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini mempunyai
kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Kesamaan yang ada
dalam alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau
dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam
pendapat mengenai beda keduanya. Thelander (1976: 103) mengatakan bahwa di
dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari suatu bahasa ke klausa
bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Namun apabila di
dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan
terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu
tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah
campur kode, bukan alih kode.
Fasold
(1984) mengatakan bahwa apabila seseorang menggunakan satu kata atau frase dari
satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Namun apabila satu klausa
jelas-jelas memiliki struktur
gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menutur struktur gramatika
bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Dari kedua pendapat di
atas tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa campur kode itu
dapat berupa pencampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa di dalam
bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi di
dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain. Tewaran Fasold (1984)
yang sejalan dengan pendapat Thelander (1976) tampaknya memang merupakan jalan
terbaik sampai saat ini untuk membicarakan peristiwa alih kode dan campur kode.
C. INTERFERENSI
Istilah
interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya
perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa
tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang
bilingual. Kemampuan setiap penutur terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi. Ada
yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, ada pula yang tidak. Penutur bilingual
yang mempunyai kemampuan sama baiknya antara B1 dan B2 oleh Ervin dan Osgood
(1965:139) dalam Chaer (2004:121) disebut berkemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan yang berkemampuan
terhadap B2 jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan B1-nya disebut
berkemampuan bahasa majemuk. Hal
inilah yang melatarbelakangi munculnya interferensi
atau “pengacauan” (Nababan,
1984). Hartman dan Stork (1972:115) tidak menyebutnya “pengacauan” melainkan
“kekeliruan” yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran
bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Interferensi
dalam bidang sintaksis, kita ambil contoh kalimat dalam bahasa Indonesia dari
seorang bilingual
Jawa - Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Bunyi kalimat itu “Di sini toko
Laris yang mahal sendiri” (diangkat dari Djoko Kentjono 1982). Kalimat bahasa
Indonesia itu berstruktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya adalah
“Ning kene toko Laris sing larang dhewe”. Kata sendiri dalam kalimat bahasa Jawa itu merupakan terjemahan dari
kata dhewe. Kata dhewe dalam bahasa Jawa, antara lain, memang berarti ‘sendiri’,
seperti terdapat
pada kalimat “Aku dhewe sing teko” (Saya sendiri yang datang). Tetapi kata dhewe yang terdapat di antara kata sing
dan adjektif adalah berarti ‘paling’, seperti sing dhuwur dhewe ‘yang paling tinggi’, dan sing larang dhewe ‘yang paling mahal’. Dengan demikian dalam bahasa
Indonesia baku kalimat tersebut di atas seharusnya berbunyi “Toko Laris adalah
toko yang paling mahal di sini”.
Menurut
Soewito (1983:59) interferensi dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa
Nusantara berlaku bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa
Indonesia dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa-bahasa daerah. Tetapi
dengan bahasa asing, bahasa Indonesia hanya menjadi penerima dan tidak pernah
menjadi pemberi.